Artikel

Opini


Tarik Ulur Cukai Minuman Berpemanis

Ditundanya pengenaan tarif cukai MBDK tentu mengecewakan kalangan praktisi kesehatan. Padahal rencana pengenaan cukai pada MBDK adalah kebijakan yang progresif, diyakini akan efektif mengendalikan konsumsi minuman manis. Tiba-tiba pemerintah kembali menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK. Kebijakan yang dimaksudkan untuk mengendalikan kenaikan jumlah penderita obesitas dan diabetes ini diundur implementasinya menjadi tahun depan. Itu pun jika tidak diundur lagi. Sebenarnya, lewat Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan Kementerian Keuangan agar menerapkan cukai produk MBDK mulai tahun ini. Namun, Kemenkeu meminta diundur sampai tahun depan.

Towards Quality Generation 2045

The demographic bonus is an important capital for Indonesia to become a developed country in 2045. However, the threat of climate change, as well as geopolitical problems, need attention so that the dream of becoming a developed country can be realized. This August, we are once again commemorating the independence of our country proclaimed by Soekarno and Mohammad Hatta in 1945. What have we achieved at the age of 78? A number of data can be disclosed, both those that have been achieved and those that have not yet been achieved. Usually, in points that have failed or not succeeded yet, we will justify it by saying, "we will make it a lesson". However, there is something no less important than evaluating what has happened, which is what we intend to target when we reach the age of 100 later?

Menuju Generasi Berkualitas 2045

Bonus demografi menjadi modal penting Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. Namun, ancaman perubahan iklim, juga problem geopolitik, perlu mendapat perhatian agar cita-cita menjadi negara maju dapat terwujud. Bulan Agustus ini kembali kita memperingati kemerdekaan negara kita yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tahun 1945. Apa yang sudah kita capai dalam usia yang ke-78 ini? Sederet data bisa kita beberkan, baik yang sudah maupun yang belum bisa kita capai. Biasanya, pada poin yang masih gagal atau belum berhasil, kita akan memakluminya dengan kalimat, ”akan kita jadikan pelajaran”.Namun, ada yang tidak kalah penting dibandingkan dengan menilai apa yang sudah terjadi, yaitu apa yang hendak kita targetkan pada usia ke-100 nanti?

Why Do You Enjoy Going Overseas for Treatment?

The large number of Indonesian citizens seeking treatment abroad has resulted in Indonesia losing around US$11.5 billion in foreign exchange, or the equivalent of Rp.170 trillion per year. Are our health services still not of high quality? In terms of medical treatment, our upper middle class includes those who like go abroad for treatment. It's not just medical treatment to cure serious illnesses, such as cancer, but also for medical check-ups or check-ups, many Indonesian citizens are keen to go abroad. Of course this only applies to those who are financially able because the costs are definitely more expensive than in their own country. This is what makes President Joko Widodo confused and concerned. A few months ago, the President complained about approximately 2 million Indonesian citizens seeking medical treatment overseas every year. Around 1 million people go to Malaysia, approximately 750,000 go to Singapore, and the rest to Japan, America, Germany, and other countries.

Mengapa Senang Berobat ke Luar Negeri?

Besarnya WNI yang berobat ke luar negeri ini mengakibatkan Indonesia kehilangan devisa sekitar 11,5 miliar dollar AS atau setara Rp 170 triliun per tahun. Apakah layanan kesehatan kita masih belum berkualitas? Untuk urusan berobat, kelas menengah ke atas kita termasuk yang suka berobat ke luar negeri. Bukan hanya berobat untuk menyembuhkan penyakit berat, seperti kanker, bahkan untuk sekadar pemeriksaan kesehatan atau check up saja banyak WNI yang getol ke luar negeri. Tentu saja ini hanya berlaku untuk kalangan yang mampu secara finansial sebab biayanya pasti lebih mahal dibandingkan dengan di negeri sendiri. Inilah yang membuat Presiden Joko Widodo heran dan prihatin. Beberapa bulan lalu Presiden mengeluhkan ada sekitar 2 juta warga Indonesia yang berobat ke luar negeri setiap tahun. Sekitar 1 juta orang ke Malaysia, sekitar 750.000 ke Singapura, serta sisanya ke Jepang, Amerika, Jerman, dan negara lain.