Mengapa Senang Berobat ke Luar Negeri?
Besarnya WNI yang berobat ke luar negeri ini mengakibatkan Indonesia kehilangan devisa sekitar 11,5 miliar dollar AS atau setara Rp 170 triliun per tahun. Apakah layanan kesehatan kita masih belum berkualitas?
Untuk urusan berobat, kelas menengah ke atas kita termasuk yang suka berobat ke luar negeri.
Bukan hanya berobat untuk menyembuhkan penyakit berat, seperti kanker, bahkan untuk sekadar pemeriksaan kesehatan atau check up saja banyak WNI yang getol ke luar negeri. Tentu saja ini hanya berlaku untuk kalangan yang mampu secara finansial sebab biayanya pasti lebih mahal dibandingkan dengan di negeri sendiri.
Inilah yang membuat Presiden Joko Widodo heran dan prihatin. Beberapa bulan lalu Presiden mengeluhkan ada sekitar 2 juta warga Indonesia yang berobat ke luar negeri setiap tahun. Sekitar 1 juta orang ke Malaysia, sekitar 750.000 ke Singapura, serta sisanya ke Jepang, Amerika, Jerman, dan negara lain.
Kata Presiden, sekitar 60 persen warga Indonesia yang berobat ke luar negeri berasal dari Jakarta, 15 persen dari Surabaya, dan sisanya dari Medan, Batam, dan kota lain. Besarnya WNI yang berobat ke luar negeri ini mengakibatkan Indonesia kehilangan devisa sekitar 11,5 miliar dollar AS atau setara Rp 170 triliun per tahun.
Pengobatan terbanyak dijalani WNI di luar negeri adalah onkologi atau kanker, kemudian ortopedi, persendian, gigi, kecantikan, dan bedah estetika.
Presiden meyakini, para dokter dan rumah sakit kita tak kalah pintar dari sejawatnya di negara tetangga. Timbul pertanyaan, apakah layanan kesehatan kita masih belum berkualitas sampai harus berobat ke luar negeri?
Keprihatinan Presiden bisa diartikan pecutan kepada jajaran Kementerian Kesehatan agar berbenah, meningkatkan kualitas layanan RS, baik dari sisi kompetensi dokter dan tenaga kesehatan, keandalan dan keramahan staf non medis, maupun tata kelola manajemen RS.
Persepsi pasien
Survei persepsi pasien lokal terhadap RS di Indonesia menunjukkan 70,75 persen pasien merasa komunikasi menjadi sumber permasalahannya. Pelayanan kesehatan dirasa kurang baik karena kurangnya empati dan penjelasan yang kurang memadai. Lebih dari 60 persen pasien berpendapat, waktu konsultasi di RS Indonesia lebih singkat ketimbang di luar negeri.
Sekitar setengah dari seluruh responden merasa teknologi kesehatan di Indonesia kurang canggih dan diagnosisnya pun kurang akurat. Sebanyak 60-70 persen responden merasa layanan medis di luar negeri lebih lengkap dan menawarkan paket wisata yang menarik. Sebanyak 94 persen pasien yang pernah ke RS luar negeri menyatakan akan kembali untuk perawatan medis lain, 98 persen merekomendasikan kepada keluarga atau orang lain sekitarnya.
Hasil survei persepsi di atas menunjukkan lemahnya tiga hal utama pada layanan kesehatan di RS kita, yaitu lemahnya akurasi diagnosa yang berarti merujuk ke kompetensi dokter, kurang canggihnya teknologi kesehatan yang digunakan, serta masih buruknya komunikasi, perhatian, dan empati dokter atau paramedis kepada pasien. Tentu ini hal bagus untuk berkaca dan mengoreksi diri.
Namun, membandingkan kualitas keseluruhan RS di Indonesia dengan Singapura tentu tak sepadan. Singapura negara sangat kecil, jumlah penduduknya hanya 6 juta jiwa (setara warga Kota dan Kabupaten Bekasi), tetapi pendapatan per kapitanya tinggi, 82.797 dollar AS (2022). Sementara Indonesia luasnya ribuan kali Singapura, jumlah penduduknya 281 juta jiwa, tetapi pendapatan per kapita hanya 4.783 dollar AS (2022).
Luas Singapura sekitar 720 kilometer persegi dan Indonesia sekitar 5,2 juta kilometer persegi dengan ribuan pulau.
Negara kecil, kaya, dan penduduknya sedikit wajar jika kualitas RS dan layanan kesehatannya lebih bagus ketimbang Indonesia. Namun, bukan berarti kita tidak memiliki RS yang bagus. Di kota-kota besar ada sejumlah RS swasta kelas premium dengan layanan yang lebih personal, peralatan medis yang lebih lengkap, dan tentu saja tarifnya jauh lebih mahal.
Apakah kualitas layanan perawat kita, misalnya, kalah bagus dibandingkan sejawatnya di Singapura? Bisa ya bisa tidak, tergantung di mana RS-nya. Pada RSUD milik pemda yang tiap hari penuh dijejali pasien kelas ekonomi, tentu saja berbeda dengan RS swasta premium yang standar gaji perawatnya berbeda dengan RSUD.
Bahkan, di sektor perawatan lansia, tenaga perawat kita termasuk telaten dan andal. Jepang pernah menawarkan pendanaan kepada Pemerintah RI jika mau mendirikan semacam RS khusus atau pusat pelayanan lansia. Para lansia di Jepang yang merasa kurang mendapatkan perhatian dari keluarganya ingin menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia dalam ketenangan dan perhatian perawat Indonesia. Menteri BUMN merespons dengan mendirikan sebuah RS khusus di Bali.
Dengan gambaran itu, bisa dikatakan kita memiliki dokter-dokter yang kompeten dan sejumlah RS kualitas layanan yang bagus, bahkan premium. Namun, yang kualitasnya premium ini jumlahnya sangat sedikit, sementara mayoritasnya masih berkualitas pas-pasan.
Jika demikian, apakah berbondongnya pasien kaya ke RS di luar negeri ini semata karena buruknya RS di sini? Di sini ada faktor lain yang bisa menjadi penyebab, terutama bukan pada pasien stadium kritis dengan penyakit kronis, yaitu berobat sambil wisata. Mereka yang ke luar negeri sekadar untuk pemeriksaan kesehatan atau check-up, atau perawatan ringan sakit gigi, misalnya, pada dasarnya adalah wisata.
Wisata adalah tren yang terus meningkat seiring kemajuan perekonomian, seperti halnya fashion, apparel, otomotif, dan kuliner. Bagi WNI kelas paspasan, berwisata ke Yogyakarta atau Bali sudah cukup membuat bahagia. Namun, bagi kelas menengah, mampu wisata ke luar negeri akan menambah kebahagiaan dan kebanggaan.
Check-up ke RS Mount Elizabeth cukup satu jam, dilanjutkan belanja dan jajan kuliner di kawasan Jalan Bugis di Singapura, dan foto-fotonya di-posting di akun Instagram, tentu pilihan menarik untuk kelas menengah di era digital.
”Medical tourism”
Jadi, kita jangan terlalu risau dengan fenomena berobat ke luar negeri. Paparan di atas menggambarkan, yang berobat ke luar negeri pada dasarnya yang mampu secara finansial.
Sekarang, bisakah kita lakukan yang serupa, membangun RS berkualitas premium untuk menjaring konsumen kaya luar negeri agar berobat ke Indonesia? Seperti dijelaskan di atas, kita sudah memiliki beberapa RS dengan kualitas premium. Namun, di tingkat persepsi, kita masih kalah dengan Singapura, Jepang, bahkan dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Apalagi jika melihat antrean panjang adalah hal biasa di RS kita meskipun kelas premium.
Pertengahan Juli lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menetapkan dua kawasan ekonomi khusus (KEK) di Bali yang akan dikembangkan sebagai pusat medical tourism, yaitu Sanur dan Kura-Kura Bali. Investasi akan digenjot di wilayah ini. April lalu, Sandiaga juga telah mengesahkan Medan, Malang, dan Sulawesi Utara sebagai salah satu kawasan layanan kesehatan prima di Indonesia.
Tentu ini awal yang bagus asal tidak hanya berhenti pada slogan saja sebagaimana kebiasaan kita selama ini.
Layanan kesehatan merupakan industri jasa yang dapat diperdagangkan, dan diatur oleh Persetujuan Umum Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Service/GATS), di bawah payung Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Salah satu elemen yang diatur adalah arus pasien lintas negara dalam mencari pengobatan dan perawatan medis.
Inilah fenomena yang disebut sebagai medical tourism, yang mungkin lebih cocok untuk jenis layanan medis yang relatif tidak sangat urgen atau tidak mengancam nyawa. Contohnya, perawatan gigi, rekonstruksi wajah, operasi plastik, suntik silikon payudara, sedot lemak atau liposuction, dan penanganan kesuburan, general check up, dan semacamnya. Jenis perawatan yang tak sangat mendesak perlu dilakukan.
Selain itu, ada juga orang yang berobat ke luar negeri karena sangat mendesak dan nyawanya terancam, bukan untuk tujuan kosmetik, misalnya pengobatan kanker, operasi cangkok ginjal, pemasangan ring dan by pass pada penyakit jantung, dan jenis penyakit berat lainnya. Banyak RS kita yang kualitasnya sudah bagus dalam menangani penyakit berat seperti tadi, tetapi umumnya antreannya sangat panjang. Maka, keputusan untuk segera berobat ke luar negeri adalah pilihan rasional bagi yang mampu. Sebab, menunda penanganan bisa berisiko fatal.
Pelaku medical tourism ternyata bukan hanya orang kaya di negara berkembang. Tren orang Inggris yang berobat ke India, bekas jajahannya, menarik diamati. Data 2011 menunjukkan, biaya untuk operasi panggul pasien lansia di Inggris 8.800 pounds (sekitar Rp 160 juta), sementara di India hanya 3.400 pounds (Rp 65 juta). Jika ditambahkan biaya penerbangan dan akomodasi, total biaya sekitar Rp 85 juta.
Ada penghematan Rp 75 juta bila berobat ke India dan ini bisa digunakan untuk melanjutkan wisata ke pelosok negeri bekas jajahan Inggris ini.
Menurut data Hospital Episode Statistics pada 2007-2008, di Inggris ada sekitar 28.000 pasien yang antre sehingga ini pasar potensial bagi industri kesehatan di India. Dalam contoh ini, orang Inggris berobat ke luar negeri yang lebih murah.
India selama ini digambarkan sebagai negara berpenduduk miliaran, mayoritas miskin, dengan kota-kota semrawut dan kumuh. Namun, dalam hal teknologi, termasuk teknologi kedokteran dan layanan kesehatan, India termasuk maju.
Dukungan regulasi
Sekarang banyak negara yang menawarkan layanan kesehatan berkualitas tinggi dengan biaya lebih rendah dibandingkan negara asal pasien. Ini membuat pariwisata medis jadi pilihan menarik bagi mereka yang mencari perawatan yang lebih murah tanpa mengorbankan kualitas. Pasien harus yakin bahwa RS yang mereka pilih memiliki kualitas yang tinggi dengan dokter yang kompeten.
Kemampuan India, Singapura, Thailand, dan Malaysia dalam membangun medical tourism harus bisa kita contoh. Untuk membangun medical tourism, pemerintah dan lembaga profesi harus menjaga agar fasilitas kesehatan memenuhi standar yang ditetapkan, dokter dan perawatnya memiliki keahlian memadai, teknologi dan alat kesehatannya lengkap dan modern, perawatnya andal dan ramah, serta pasiennya mendapatkan perlindungan hukum.
Kita bisa mencontoh Malaysia dalam hal keseriusan untuk mendorong medical tourism. Pada 1998, Malaysia membentuk komite nasional untuk mempromosikan medical tourism. Salah satu gebrakannya, pemberian insentif pajak untuk bangunan, peralatan medis, pelatihan, dan promosi sembari mengejar akreditasi kualitas setiap rumah sakit. Hasilnya, Malaysia sekarang menjadi salah satu tujuan orang Indonesia untuk berobat.
Negara-negara tetangga yang sudah terlebih dahulu sukses di sektor ini seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura butuh waktu 15-25 tahun untuk bisa berkembang seperti sekarang. Perlu sikap lapang dada untuk mau belajar dan berkolaborasi dengan negara-negara maju agar dapat mengembangkan sektor industri kesehatan ini.
Djoko Santoso
Guru Besar Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jatim
Source: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/16/mengapa-senang-berobat-ke-luar-negeri?open_from=Search_Result_Page
Keywords: