Tantangan Sistem Pendidikan Pasca Pandemi
Presiden AS Joe Biden sudah resmi mengumumkan pencabutan status darurat pandemi Covid-19, yang sudah menjangkiti lebih dari 106,3 juta warganya dan sekitar 1,15 juta di antaranya meninggal. Sedangkan untuk Indonesia Presiden jokowi mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia, pada 21 Juni 2023. Pada saat itu, kasus di Indonesia dilaporkan ada sekitar 6,8 juta kasus dan sekitar 161 ribu di antaranya meninggal. Di tingkat global, pandemi ini memapar sekitar 761,4 juta warga dunia dengan korban meninggal sekitar 6,9 juta jiwa.
Meskipun bervariasi waktu pencabutan dari berbagai negara dalam status darurat, tetapi situasi global Pasca pandemi masih berat melangkah dalam derap pembangunan, dimana mobilitas dan aktivitas di ruang publik sangat dibatasi, dan perekonomian anjlok drastis. Selama tiga tahun ini umat manusia berubah dalam banyak hal, seperti standar perilaku beraktivitas di ruang publik, trend gaya hidup yang lebih sehat, penyesuaian metoda pembelajaran, atau perubahan metoda bisnis dan perdagangan.
Akan tetapi, dalam periode keterbatasan inilah justru muncul banyak sekali inovasi. Yang berkaitan dengan penanganan Covid misalnya, banyak ilmuwan dari berbagai negara yang menghasilkan inovasi seperti metoda surveilans penderita Covid, penemuan berbagai jenis baru ventilator, identifikasi dan pengelompokan genom virus varian mutasi yang baru, hingga pengembangan vaksin.
Di bidang bisnis, khususnya di negara negara berkembang, terjadi percepatan peningkatan literasi digital marketing yang luar biasa pada sektor small and medium enterprise (SME). Bisa dikatakan, sekarang mayoritas pelaku bisnis skala SME sudah mahir menggunakan berbagai aplikasi marketing digital dan mampu melakukan penetrasi ke pasar digital. Hasilnya, omset SME yang ngedrop pada awal pandemi, dalam waktu tidak terlampau lama kemudian bangkit dan meningkat pesat, karena menggunakan aplikasi digital marketing dan media sosial. Inilah yang membuat SME bisa bertahan dari ancaman kebangkrutan, bahkan bisa berkembang secara mengagumkan, sementara di sisi lain banyak big scale enterprise yang terpaksa memecat ribuan karyawannya. Yang kecil bisa bertahan dan berkembang, sementara yang raksasa justru pada berguguran. Inilah paradox perekonomian yang muncul dalam periode pandemi.
Demikian pula di ranah pendidikan. Pada awal pandemi, semua aktivitas pendidikan yang berbasis tatap muka dihentikan. Sekolah diliburkan, anak didik dan orang tuanya kebingungan, dan para guru jadi galau. Pada level perguruan tinggi aktivitas kuliah juga diliburkan, tetapi kemudian perlahan bisa dimulai lagi dengan metoda kuliah online. Jajaran dosen dan mahasiswa lebih cepat beradaptasi dengan metoda kuliah online dibanding dengan anak anak sekolah, apalagi di level SD. Metoda pembelajaran online ini pada akhirnya juga diterapkan pada level sekolah. Akibatnya penjualan laptop meningkat pesat, memenuhi kebutuhan mahasiswa dan murid sekolah, juga kebutuhan para gurunya.
Pada periode ini kualitas proses pendidikan mungkin berjalan kurang baik, jauh dari ideal. Perubahan metoda belajar dan kuliah dari tatap muka menjadi berbasis online ini sangat mendadak, sehingga masih banyak menyisakan kekurangan. Pada kuliah yang berbasis penyampaian materi dan diskusi, relatif bisa cepat beradaptasi dengan metoda online. Akan tetapi untuk mata kuliah praktikum, misalnya praktik bedah anatomi hewan, atau praktikum reaksi kimia, ini tentu saja lebih sulit dilakukan dengan metoda online.
Akan tetapi inilah upaya maksimal saat itu, setidaknya agar proses pendidikan masih bisa berjalan, tidak terhenti sama sekali akibat pandemi. Pada awal penerapan metoda online, bukan hanya para murid yang mengalami gagap teknologi, tetapi juga banyak guru yang masih terbata bata mengunakan aplikasi pertemuan online seperti Zoom atau Google Meet. Akan tetapi dalam waktu yang tidak terlampau lama, semua orang menjadi terbiasa dan terampil berzoom ria.
Inilah hakekat dari proses adaptasi, semua orang yang bergerak pada berbagai sektor berusaha untuk mencari cara, menyesuaikan diri dengan situasi yang menyulitkan. Tanpa kemauan keras untuk untuk beradaptasi terhadap perubahan, maka umat manusia tidak akan mampu untuk mencapai kemajuan. Sejarah peradaban umat yang sudah berjalan lebih dari tujuh milenium, adalah sejarah tentang kemauan keras menghadapi kondisi kesulitan, seperti bagaimana bertahan menghadapi bencana alam katastropis, persaingan dan kompetisi antar bangsa, juga persaingan membangun peradaban dan budaya yang lebih maju.
Dalam konteks inilah muncul pertanyaan, bagaimana umat manusia akan melanjutkan peradaban dunia pasca pandemi? Banyak agenda bersama, seperti target MDGS, yang terpaksa harus mundur karena pandemi. Target penurunan emisi di kawasan Masyarakat Ekonomi Eropa juga harus mundur karena terkena dampak pandemi. Kawasaan Eropa yang punya target menghentikan konsumsi batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan, terpaksa berubah pikiran karena terkena dampak perang Rusia-Ukraina. Pandemi dan kemudian disusul dengan perang Rusia-Ukraina, mengakibatkan banyak agenda bersama umat manusia terpaksa dijadwal ulang.
Disaat seperti inilah maka kampus dan masyarakat akademis sebagai basis think tank sangat diharapkan mencari terobosan pemikiran yang out of the box, untuk mencari solusi bersama demi melanjutkan peradaban umat manusia. Apalagi, sekarang ini kita memasuki dunia yang berubah sangat cepat karena perkembangan teknologi digital. Jika pada awal pandemi banyak kampus dan sekolahan yang berusaha menyesuaikan diri dengan metoda pembelajaran online, maka sekarang yang dihadapi jauh lebih menantang. Yaitu, perkembangan teknologi Artificial Intelligent (AI) yang sangat cepat. Kemunculan ChatGPT dan kemudian disusul oleh para kompetitornya dengan cepat mengguncang kemapanan dunia akademis, karena mampu menggantikan separo dari tugas-tugas dunia akademis, salah satu contohnya adalah di bidang penulisan. Cepatnya perkembangan AAI ini di satu sisi sangat membantu para akademisi, tetapi di sisi lain memunculkan potensi masalah baru, yaitu etika. Sejauh manakah perkembangan robot pintar AI ini akan tetap dalam kerangka etika?
Di sinilah, proses belajar di kampus harus mampu beradaptasi dengan situasi ini, baik dari sisi paradigma dan filsagat pendidikan, penyesuaian kurikulum, kesiapan dan ketrampilan dosen, dukungan literasi tantang manfaat dan bahayanya teknologi digital, serta dukungan infratsruktur pendukungnya. Dunia berubah dengan cepat, dan kita dituntut untuk menyesuaikannya, bukan lari meninggalkan. Ada baiknya kita ingat pepatah, tiada yang kekal di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. []
Sumber gambar: https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/transformasi-digital-dalam-pemulihan-pendidikan-pasca-pandemi