Depopulasi dan Ancaman Bencana Demografi


Tanpa akses pendidikan berkualitas, terutama pendidikan vokasi, bonus demografi terancam akan terlewati begitu saja.

Problem depopulasi bukan hanya menimpa Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, melainkan juga China. Apakah gejala ini pun sudah menular ke Indonesia?

Jepang negara maju dan makmur, dengan kultur kerja keras, menjunjung disiplin dan etika yang mengagumkan. Industrinya maju, pendapatan per kapita warganya tinggi, layanan pendidikan dan kesehatannya bagus. Maka, angka harapan hidup warganya lebih tinggi dibanding kebanyakan negara lain.

Di Jepang sangat biasa ditemui warga berusia lanjut yang masih sehat. Dalam komposisi demografi, jumlah warga usia lanjut lumayan besar. Maka, usia warga Jepang secara nasional semakin menua. Di sisi lain, rakyat Jepang semakin turun minatnya untuk memiliki anak sehingga angka kelahiran juga menurun. Bayi yang lahir semakin sedikit, sementara yang berusia lanjut semakin banyak.

Akibatnya, populasi Jepang semakin menua dibandingkan kebanyakan negara lain.

Jumlah kelahiran baru pada 2022 hanya 800.000 jiwa. Sangat rendah dan baru pertama kali terjadi. Hal ini membuat populasi Jepang merosot 0,43 persen jadi hanya sekitar 124,77 juta jiwa. Dari jumlah ini, 29 persen berusia 65 tahun ke atas dan 11,6 persen berusia 0-14 tahun (Kompas.id, 25/1/2023). Situasi ini memaksa pemerintah menutup sekolah, toko, dan berbagai jenis layanan publik lainnya di komunitas kecil atau di perdesaan.

 

depopulasi-dan-ancaman-bencana-demografi-prof-djoko-santoso.jpg

Ini menjadi tantangan serius bagi Jepang di masa mendatang. Pasokan SDM berusia produktif semakin menurun, dan beban biaya untuk menghidupi populasi usia lanjut yang masih sehat kian membesar.

Situasi serupa terjadi di Singapura dan Korsel yang sama-sama negara maju dan makmur di Asia. Pada 2023, angka kelahiran di Korsel mencapai rekor terendah, 0,72 persen. Penurunan terjadi empat tahun berturut-turut. Jika terus berlanjut, diperkirakan dalam waktu 75 tahun mendatang penduduk Korsel akan berkurang separuh dari jumlah saat ini.

Di Singapura, pada 2023 angka kelahiran total untuk pertama kali dalam sejarah berada di bawah 1, yaitu 0,97. Sama dengan di Jepang dan Korsel, penurunan angka kelahiran di Singapura ini terjadi bersamaan dengan komposisi populasi yang semakin menua.

Korsel dikenal sebagai negara maju. Industrinya tumbuh pesat, ekspor produk teknologinya merambah ke seluruh dunia. Produk otomotif dan elektronik Jepang dan Korsel merajai dunia. Korsel bahkan menjadi eksportir produk pertahanan atau militer, dan produk budaya yang kita kenal dengan sebutan K-Pop.

Sementara Singapura, meskipun negerinya kecil, ternyata menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Singapura tidak memiliki ladang migas seperti Indonesia, tetapi Indonesia mengimpor BBM dari kilang Singapura. Dan hebatnya lagi, ketiga negara di atas dikenal sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi. Maka, wajar jika rakyatnya menjadi makmur dan sehat, panjang usianya.

Namun, apa gunanya negeri yang makmur, rakyatnya sehat dan panjang usia jika semakin lama jumlah penduduknya semakin berkurang? Inilah ancaman yang sekarang sedang dihadapi oleh ketiga negara itu. Bukan ancaman perang, melainkan ancaman depopulasi atau bencana demografi.

Gejala depopulasi tidak hanya dialami Jepang, Korsel, dan Singapura. China dengan populasi sekitar 1,4 miliar jiwa sudah puluhan tahun memberlakukan kebijakan satu anak secara ketat, tingkat kelahirannya juga sangat rendah. BBC News Indonesia melaporkan, tahun 2023 tingkat kelahiran China di angka 0,67 persen, turun dari sebelumnya 0,75 persen.

Sementara jumlah populasi totalnya sudah menurun sekitar 850.000 jiwa. Inilah yang membuat Pemerintah China sekarang balik arah. Sekarang Pemerintah China mendorong rakyatnya agar mau memiliki anak lebih dari satu, dengan memberi berbagai insentif dan fasilitas. Tujuannya agar angka kelahiran tak makin menurun.

 

Depopulasi di Indonesia?

Problem demografi beberapa negara di atas bisa kita jadikan pelajaran untuk menata politik demografi kita di masa mendatang. Survei BPS 2020 mencatat, tingkat kelahiran total Indonesia sebesar 2,1 persen, menurun 0,39 persen selama sepuluh tahun terakhir.

Artinya, kita juga mengalami gejala depopulasi seperti Jepang, Korsel, Singapura, dan China, tetapi angkanya masih jauh lebih kecil.

Bahkan, penurunan tingkat kelahiran total ini kita apresiasi sebagai keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang dilaksanakan sejak awal dekade 1970-an dulu.

Apakah laju depopulasi Indonesia juga akan membesar? Harian Kompas belum lama menurunkan berita utama berjudul ”Menikah Tidak Lagi Menjadi Prioritas” (8/3/2024).

Mengutip BPS, disebutkan bahwa angka pernikahan di Indonesia terus menurun, setidaknya sejak 2018 hingga sekarang. Tahun 2018 tercatat 2,01 juta pernikahan, menurun jadi 1,96 juta, turun lagi menjadi 1,78 juta (2020), 1,74 juta (2021), dan 1,70 juta (2022).

Sementara angka kelahiran di 2023 sebesar 2,1 persen, dianggap masih ideal untuk menjaga keseimbangan populasi. Menurut Ketua BKKBN Hasto Wardoyo, jika angka total kelahiran terlalu rendah, akan menyebabkan potensi bonus demografi tak bisa maksimal.

 

depopulasi-dan-ancaman-bencana-demografi-prof-djoko-santoso-2.jpg

Ketika angka kelahiran total menurun, jumlah penduduk berusia muda (usia produktif) akan menurun pula, sementara jumlah penduduk berusia tua dan lanjut (tidak produktif) malah semakin meningkat.

Dalam konteks nasional, jika situasi itu terjadi, dikhawatirkan komposisinya menjadi sejumlah kecil populasi usia produktif akan membiayai sejumlah besar populasi yang kurang/tidak produktif. Oleh karena itu, meskipun belum menjadi ancaman nyata, kita perlu menata peta jalan kebijakan demografi sejak dini.

Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, kerap kita dengar frasa ”bonus demografi”, yang intinya adalah kita akan memiliki populasi usia produktif yang berlimpah, yang akan mendukung pencapaian target Indonesia Emas di 2045 nanti.

Akan tetapi, jika populasi usia produktif ini kualitasnya rendah, dalam arti pendidikan, kompetensi dan tingkat kesehatannya rendah, hal ini bukan lagi bonus demografi, melainkan potensial menjadi ”ancaman demografi”.

 

Pendidikan dan kompetensi

Apakah Indonesia akan benar-benar menjadi negara maju pada 2045? Perlu ada peta jalan bagi peningkatan kualitas bagi generasi milenial (generasi Z dan Alpha), yang pada 2045 akan jadi generasi penentu.

Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia 2015-2045 berbasis data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015, periode bonus demografi berlangsung antara 2012 dan 2036.

Periode bonus demografi ini menjadi penting karena negara yang berada dalam periode bonus demografi memiliki jumlah penduduk usia produktif yang besar, yang berpeluang mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi. Bonus demografi merupakan modal penting bagi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, tentu saja jika bisa disiapkan dengan tepat.

Pendidikan menjadi faktor penting untuk mencetak generasi baru yang memiliki kompetensi agar lebih kompetitif di tingkat global, minimal mampu berkompetisi di tingkat Asia Tenggara. Dengan akses pendidikan tinggi berkualitas yang lebih luas, generasi baru Indonesia diharapkan bisa tumbuh menjadi generasi unggul yang memiliki kompetensi.

Tanpa akses pendidikan berkualitas, terutama pendidikan vokasi, bonus demografi yang saat ini sedang berlangsung terancam akan terlewati begitu saja, bahkan bisa berubah menjadi beban demografi.

 

depopulasi-dan-ancaman-bencana-demografi-prof-djoko-santoso-3.jpg

Merujuk Statistik Pendidikan Tinggi 2020, jumlah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia sebanyak 4.593, seharusnya mencukupi untuk menampung lulusan SMA/SMK yang berjumlah sekitar 3,7 juta lulusan per tahun, tetapi hanya sekitar 58 persen yang melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi.

Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi karena kendala ekonomi. Yang sempat melanjutkan ke pendidikan tinggi, masih menghadapi masalah tingginya biaya kuliah. Ini sebabnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) masih terbilang rendah.

Berdasarkan data Kemendikbudristek, APK PT Indonesia pada 2024 sebesar 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang mencapai 40 persen (UNESCO, 2020). Bahkan, APK PT Indonesia termasuk rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diyakini semakin tinggi pula kualitasnya memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masuk dunia kerja. Kita bisa belajar dari Singapura dan Korea Selatan dalam meniti jalan menjadi negara maju berbasis industri.

Salah satunya, menyelaraskan sistem pendidikan dengan peta jalan industrialisasi. Pelaku industri tak sekadar menyerap lulusan sekolah, tetapi juga didorong terlibat dalam perencanaan kurikulum pendidikan.

Sebagai negara industri, Singapura, Korsel, dan negara maju lain, sektor industri dan manufakturnya mudah mendapatkan tenaga kerja berkualitas dari lulusan lembaga pendidikan dalam negeri sendiri.

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik adalah pentingnya pendekatan sistematik dalam mempersiapkan SDM melalui pendidikan berkualitas tinggi, dan mudah diakses rakyat, termasuk anak dari keluarga tak mampu. Jalan ini harus ditempuh karena industrialisasi membutuhkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi.

 

Perubahan iklim dan kesehatan

Dalam konteks bonus demografi dan penyiapan generasi baru berkualitas, masalah kesehatan perlu menjadi perhatian utama setelah pendidikan karena dua faktor ini merupakan fondasi dalam membangun bangsa. Kesehatan generasi baru saat ini sedang menghadapi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global.

Riset sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam International Panel on Climate Change, organisasi riset di bawah payung PBB, menyebut, ketika pemanasan global tidak bisa dicegah pada 2050, suhu Bumi tambah panas 2,6 derajat celsius, dengan asumsi target Perjanjian Paris 2015 tak tercapai.

Akibatnya, permukaan laut akan naik 5-32 sentimeter dibandingkan tahun 1990 karena gunung es dan sejumlah gletser meleleh.

depopulasi-dan-ancaman-bencana-demografi-prof-djoko-santoso-4.jpg

Artinya, generasi milenial, khususnya generasi Z (kelahiran 1997 dan seterusnya), diperkirakan semakin sering menghadapi panas ekstrem dan bencana banjir. Ini mengingat Indonesia termasuk wilayah rentan bencana iklim.

Jurnal kesehatan The Lancet edisi November 2023 menulis laporan khusus dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Disebutkan, setidaknya ada dua dampak utama perubahan iklim terhadap kesehatan manusia. Pertama meluasnya penyakit menular, dan kedua adalah krisis pangan.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 



Comments