Gula dan Ancaman Kesehatan Nasional


Indonesia peringkat ke-5 negara dengan populasi penderita diabetes terbesar di dunia. Harus ada strategi untuk mengurangi konsumsi gula pada berbagai masakan dan minuman, baik yang diolah sendiri maupun produk industri.

 

Belum lama ini, Kompas menurunkan serial laporan investigasi yang menunjukkan betapa konsumsi gula nasional sudah membahayakan karena sangat berlebihan.

Akibatnya, jumlah penderita diabetes meningkat, biaya perawatan dan pengobatannya juga ikut melonjak. Merujuk data BPJS Kesehatan, Kompas menulis, selama lima tahun terakhir (2018-2022), total biaya klaim pasien peserta BPJS Kesehatan yang terdiagnosis diabetes terus meningkat. Pada 2018, pasien diabetes menyerap total biaya Rp 4,9 triliun dari kas BPJS dan pada 2022 angkanya meningkat menjadi Rp 6,4 triliun.

Tanpa disadari, kita sedang menghadapi bahaya tersembunyi akibat konsumsi gula berle- bihan yang sudah membudaya sejak lama. Semakin hari masyarakat kita semakin banyak mengonsumsi gula dan semakin sedikit melakukan aktivitas fisik. Kelebihan asupan kalori, terutama gula, dan kekurangan aktivitas fisik, akan memicu obesitas dan berbagai penyakit turunannya, seperti diabetes, penyakit ginjal kronis, penyakit jantung, dan sejenisnya.

Menyimak data OurWorld, prevalensi obesitas di masyarakat Indonesia terus meningkat, dari semula hanya 0,4 persen (1975) menjadi 6,9 persen (2016). Asupan kalori yang terus meningkat setiap tahun sangat berpotensi meningkatkan prevalensi obesitas.

Hasil survei BPS tahun 2021 menunjukkan, hanya 27 persen masyarakat Indonesia berumur lima tahun ke atas yang rutin berolahraga, turun drastis dibandingkan 2018 yang 35,7 persen. Artinya, masyarakat yang berolahraga atau beraktivitas fisik kian menurun.

Inilah yang kemudian membuat usia penderita diabetes semakin muda. Dulu penyakit diabetes dianggap sebagai penyakit orangtua atau kakek-nenek. Kini, diabetes banyak menjangkiti usia muda, 40 tahunan, bahkan juga di bawah 40 tahun.

Ini tentu memprihatinkan. Menurut data Riset Kesehatan Dasar, jumlah penderita diabetes berusia di bawah 40 tahun terus meningkat, dari 5,7 persen (2007) menjadi 6,9 persen (2013) dan 10,9 persen (2018).

 

gula-dan-ancaman-kesehatan-nasional-prof-djoko-santoso-rumahginjalid-2.jpg

 

Secara global, Indonesia peringkat kelima negara dengan populasi penderita diabetes terbesar di dunia, dengan urutan China (140 juta), India (74 juta), Pakistan (32 juta), Amerika Serikat (32 juta), dan Indonesia (19,5 juta).

Berdasarkan definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gula bebas adalah monosakarida dan disakarida, serta gula alami yang terdapat pada madu, sirop, dan jus buah. WHO merekomendasikan asupan gula bebas maksimal 10 persen dari total asupan energi total. Untuk kesehatan yang lebih baik, disarankan pengurangan konsumsi gula hingga maksimal 5 persen dari total asupan energi.

Mengapa kita senang mengonsumsi gula, bahkan berlebihan? Karena makanan dan minuman yang mengandung gula enak rasanya sehingga menarik bagi semua usia.

Kita biasa menambahkan gula saat minum teh dan kopi. Orang Jawa, terutama Solo, punya ritual pagi minum teh ginasthel (legi, panas, kenthel atau manis, panas, kental). Wedangan angkringan jika tanpa menu teh ginasthel sulit untuk laku. Demikian juga dengan gudeg Yogyakarta, baik basah maupun kering, sama-sama diguyur gula kelapa dalam jumlah berlimpah sehingga terasa manis sekali.

Demikian juga masakan lokal lain, seperti rendang, rawon, tongseng, gulai, lodeh, semur, terik dan sebagainya, selalu ditambah gula sebagai bumbu.

Berbagai makanan camilan olahan, seperti aneka roti dan kue, juga diguyur gula. Aneka camilan produk industri makanan malah bukan hanya mengandung gula, melainkan juga garam dan penguat rasa secara berlebihan sehingga disukai anak-anak. Juga berbagai minuman kemasan, hampir semua mengandung gula berlimpah. Bahkan, makanan pokok kita, nasi, juga mengandung gula yang cukup tinggi.

 

Pengendalian konsumsi

Respons pemerintah untuk mengurangi laju jumlah penderita obesitas bisa dibilang masih minim. Pada 2017, Kementerian Kesehatan meluncurkan pedoman Gerakan Berantas Obesitas (Gentas), berupa sosialisasi mengenai takaran komposisi makanan yang baik serta anjuran olahraga bagi seluruh masyarakat.

Pemerintah juga mewajibkan senam pagi bagi seluruh aparatur sipil negara yang sehat di seluruh fasilitas pemerintah, tiap Jumat atau Sabtu. Ini langkah baik, tetapi masih jauh dari cukup. Yang lebih diperlukan, kebijakan pengendalian konsumsi gula.

Pemerintah Inggris membuat regulasi yang mengatur kadar gula dan karbohidrat pada makanan olahan atau cepat saji. Oktober 2022, Pemerintah Inggris melarang promosi dan marketing massal untuk produk makanan yang kadar gula, garam, dan lemak (GGL)-nya tinggi. Sayang, larangan sempat dicabut karena makanan dengan kadar GGL terkontrol harganya jauh lebih mahal, tiga kali lipat harga per kalori ketimbang makanan dengan GGL yang biasa tidak terkontrol.

Karena rasa manis itu enak, harus ada upaya yang lebih sistematis untuk mencegah bahaya konsumsi gula yang berlebihan. Harus ada strategi untuk mengurangi konsumsi gula pada berbagai masakan dan minuman, baik yang diolah sendiri maupun produk industri.

Untuk merombak budaya kuliner berlimpah gula yang berumur ratusan tahun tentu bukan hal mudah. Karena itu, harus dibarengi dengan literasi yang gencar tentang bahaya mengonsumsi gula berlebih. Lewat Badan POM, pemerintah bisa menyusun aturan yang membatasi kadar gula pada industri makanan dan minuman, sebagaimana sudah diterapkan pada berbagai zat lain.

 

gula-dan-ancaman-kesehatan-nasional-prof-djoko-santoso-rumahginjalid-3.jpg

 

Bahkan, pemerintah juga sudah menerapkan aturan fortifikasi (penambahan zat tertentu). Untuk industri minyak goreng sawit diterapkan fortifikasi vitamin A guna mencegah defisiensi pada anak-anak.

Pemerintah bisa segera menerapkan aturan pembatasan kadar gula pada industri makanan dan minuman. Izin BPOM berupa MD (makanan dalam) ataupun PIRT (pangan industri rumah tangga) hanya dikeluarkan jika kandungan gulanya tidak melewati batas maksimal yang ditetapkan. Dengan cara ini, strategi pencegahan bisa dilakukan lewat regulasi yang menyasar industri makanan dan minuman.

Kedua, kita harus terus mencari substitusi untuk makanan pokok yang mengandung gula tinggi. Dulu, buku pelajaran sekolah menyebut bahwa makanan pokok orang Madura adalah jagung, sementara sagu dan ubi dikonsumsi warga Papua.

Namun, sekarang, hampir seluruh pelosok negeri mengonsumsi nasi dari beras, yang kadar gulanya tinggi. Dominasi beras telah mengubah keragaman makanan pokok di sejumlah daerah. Padahal, sagu dan ubi lebih sehat karena kadar gulanya lebih rendah daripada beras. Di Papua, sagu tumbuh liar melimpah tinggal ditebang saja, sedangkan untuk menanam padi butuh biaya dan budidaya yang lebih sulit.

 

Substitusi gula tebu

Selain itu, ada alternatif lain yang layak dikembangkan, yaitu mengganti gula tebu dengan gula stevia. Stevia adalah tanaman perdu, mirip kemangi, daunnya menghasilkan rasa manis yang berlipat dibanding tebu sehingga bisa diolah jadi pemanis.

Gula stevia ini kalorinya nol atau non gluten sehingga sehat dan aman bagi penderita diabetes. Budidaya stevia untuk diolah jadi gula stevia sudah berjalan dalam skala kecil. Beberapa industri mengolahnya menjadi gula stevia yang dijual di pasaran umum, bahkan banyak tersedia di toko daring.

Karena skalanya masih kecil, biaya budidaya stevia dan pengolahannya menjadi gula masih tinggi sehingga harga gula stevia masih lebih tinggi dibanding dengan gula tebu. Jika pemerintah serius mendorong masyarakat agar mengurangi konsumsi gula tebu yang tak sehat, pengembangan budidaya stevia ini layak dilakukan.

 

Jika budidayanya sudah meluas, industri pengolahannya bisa lebih efisien sehingga harganya lebih murah. Pemerintah bisa memberikan insentif, baik di sisi budidaya maupun di sisi industrinya. Industri pengolah gula stevia, misalnya, bisa diberi tax holiday, pengurangan PPN, atau subsidi pada harga jual. Sehingga, harga gula stevia bisa semakin murah, konsumsinya meningkat, dan masyarakat semakin sehat.

Perlu upaya khusus untuk mengurangi kebiasaan masyarakat yang lebih suka konsumsi beras berkadar gula tinggi, dengan mengurangi porsi beras, mengganti dengan bahan makanan lain yang lebih sehat.

 

gula-dan-ancaman-kesehatan-nasional-prof-djoko-santoso-rumahginjalid-4.jpg

 

Konsumsi beras merah atau hitam yang kaya serat dan lebih sedikit kandungan gulanya, sagu, umbi, dan sejenisnya bisa menjadi substitusi yang lebih sehat. Masalahnya, bagaimana rekayasa teknologi agar makanan pokok nonberas ini bisa seenak beras, diproduksi dalam skala besar, dan literasi terus-menerus jangka panjang.

 

Resistensi industri

Sekarang ini kita dikepung oleh ribuan makanan dan minuman produk pabrikan yang mengandung berbagai bahan secara berlebih, mulai dari gula, garam, vetsin, dan pengawet.

Dengan kampanye iklan bertubi-tubi sepanjang hari sepanjang tahun, sejak dini anak- anak kita sudah diakrabkan dengan potensi terkena diabetes dan darah tinggi, dari industri makanan dan minuman.

Sebenarnya pemerintah sudah merespons hal ini. Dulu Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai minuman berpemanis ini pada 2016. Skenario awalnya, dengan menerapkan cukai Rp 1.000-Rp 5.000, ada potensi penambahan pendapatan cukai sebesar Rp 79 miliar hingga Rp 3,95 triliun.

Kebijakan seperti ini telah dilakukan di beberapa negara dan berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis.

Namun, menaikkan cukai produk makanan dan minuman berpemanis tentu akan mengakibatkan harga jualnya naik 30-40 persen. Ini yang membuat Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) bereaksi.

 

gula-dan-ancaman-kesehatan-nasional-prof-djoko-santoso-rumahginjalid-5.png

 

Ketua Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, rencana kenaikan cukai ini tidak akan efektif dan akan menambah beban dunia industri karena akan menurunkan penjualan dan pendapatan negara. Mungkin pendapatan cukai akan naik sedikit, tetapi sangat mungkin akan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, PPh individu atau PPh Pasal 21 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Diperkirakan, tambahan penerimaan cukainya akan jauh lebih kecil ketimbang penurunan penerimaan pajaknya. Karena tarik ulur yang panjang ini, Kementerian Keuangan baru berencana menerapkan cukai atas produk minuman yang berpemanis ini mulai 2024.

Kita perlu berkaca dari kebijakan menaikkan cukai rokok yang sudah sekian kali dikenakan secara bertahap. Berdasarkan riset, kenaikan cukai rokok akan menurunkan jumlah penambahan perokok baru. Maka, pemerintah menaikkan cukai rokok, tidak sekaligus, tetapi secara berkala. Sekarang ditambah lagi dengan larangan penjualan rokok ketengan, diharapkan para perokok pemula (remaja, anak sekolah) tidak akan mampu membeli rokok yang sudah semakin mahal, apalagi harus sebungkus utuh.

Namun, yang terjadi, sekarang justru tumbuh berbagai ”inovasi” yang sifatnya resisten. Salah satunya adalah tumbuh pesatnya kios-kios penjual tembakau, lengkap dengan rajangan cengkeh, kertas pembungkus, gabus filter, bahkan mesin pelinting rokok manual. Sekarang, tingwe alias melinting rokok sendiri dari tembakau eceran sudah menjadi gaya hidup perokok muda sampai orang tua.

Ada lagi, tumbuh pesatnya berbagai rokok pabrikan kelas UKM dengan ratusan merek yang harganya murah meriah, baik bercukai maupun ilegal, laris manis menangkap pelarian konsumen yang enggan membeli rokok merek terkenal berharga mahal.

Rencana menaikkan cukai makanan minuman berpemanis sebaiknya digodok berdasarkan riset dan kajian matang agar bisa efektif mencapai tujuan dan sekecil mungkin menimbulkan resistansi. Pertumbuhan ekonomi tentu saja penting, tetapi menjaga kesehatan nasional tak kalah penting. Semoga keduanya bisa berjalan seiring.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 



Comments