Asuransi Gabungan untuk Menambal Bolong BPJS


Rencana menggabungkan manfaat BPJS dan asuransi swasta sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah perlu menata regulasi dan mengatur koridor risiko, kriteria pungutan dan pembayaran, sumber dana, dan durasi program CoB.

Beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melontarkan ide perlunya BPJS khusus untuk orang kaya, dan langsung disambar dengan pro-kontra.

BPJS untuk orang kaya dimaksud adalah asuransi swasta tambahan untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pengobatan bagi orang kaya. Kompas setidaknya memuat empat artikel opini yang menanggapi lontaran Menkes yang disampaikan pada rapat kerja dengan DPR di pengujung 2022 itu.

Diawali Joko Mulyanto, akademisi FK Unsoed (”Jaminan Kesehatan bagi Orang Kaya”, 10/12/2022), dilanjutkan Laksono Trisnantoro, staf khusus Menkes (”Menangani Masyarakat Mampu di JKN”, 15/12/2022) yang memperjelas apa yang jadi dasar kegundahan Menkes. Kemudian Ahmad Fuady, akademisi FKUI, (”Jaminan Kesehatan Nasional: Proteksi untuk Siapa?”, 2/1/2023). Dan terakhir, Ali Ghufron Mukti, Dirut BPJS yang juga mantan Wamenkes (”BPJS, Siapa Paling Diuntungkan?”, 27/2/2023).

Ini diskusi yang mencerahkan, melibatkan pakar kompeten, didukung data dan argumen, sehingga bisa memberi pemahaman peta permasalahan BPJS yang relatif lengkap. Diskusi ini bisa menjadi awal bahan proses penyusunan kebijakan untuk memperbaiki BPJS agar pemanfaatannya lebih merata dan berkeadilan.

Fuady memaparkan penyebab terjadinya kesenjangan pemerataan pemanfaatan akses layanan kesehatan. Mengutip Sambodo (2021), ia menunjukkan pengeluaran kesehatan Indonesia masih didominasi golongan ekonomi yang lebih makmur dan dipengaruhi oleh distribusi fasilitas kesehatan yang tak merata. Dua pertiga dari total 61 RS level tinggi (dulu disebut Kelas A) berada di Pulau Jawa dan 16 di antaranya berada di Jakarta.

Studi ENHANCE (2022) juga menunjukkan masyarakat golongan ekonomi lemah tak memiliki banyak pilihan akses, kecuali fasilitas kesehatan dengan kualitas yang lebih rendah dan terbatas. Alasan utama mengapa akses dan pemanfaatan BPJS didominasi golongan ekonomi yang lebih makmur karena masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah enggan memanfaatkan fasilitas itu.

Meski layanan kesehatan tersedia gratis, peserta JKN tetap harus mengeluarkan biaya non-kesehatan, seperti transportasi, akomodasi, bahkan potensi kehilangan pendapatan harian. Dengan keterbatasan fasilitas, jarak yang jauh, dan biaya nonmedis yang tinggi, kelompok ini tak sanggup atau harus berpikir berulang kali sebelum memutuskan mengakses fasilitas kesehatan. Kelompok yang lebih makmur diuntungkan oleh akses yang lebih leluasa dan biaya nonmedis yang masih bisa mereka tanggung.

Di sisi lain, perlu dicermati pula, dari sekitar 30 juta peserta kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) pada 2021, hanya 48 persen yang membayar iuran JKN secara aktif. Ini menyebabkan rendahnya kontribusi kelompok ini ke BPJS yang hanya 8 persen—dibandingkan kontribusi kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang 34 persen. Paparan Fuady ini cukup mengusik, ternyata akses dan pemanfaatan layanan kesehatan masih menampakkan jurang kesenjangan yang dalam.

Fuady kemudian melontarkan gagasan ”penyesuaian risiko” (risk adjustment) untuk memperbaiki skema JKN. Penyesuaian risiko ini sebagai koreksi atas penetapan iuran berdasar kelas 1, 2, dan 3 yang disebutnya sebagai salah kaprah.

Idenya, memberlakukan iuran dasar, misal Rp 150.000 bagi pendaftar baru, dengan hak manfaat layanan kesehatan dasar yang ditetapkan, semacam ambang batas (treshold). Besarnya iuran ini bisa naik jika peserta akan mengambil sejumlah manfaat yang kategorinya berada di atas ambang batas. Misal, seseorang didiagnosis gagal ginjal di tahun kedua kepesertaannya dan harus mengakses layanan cuci darah dua pekan sekali, maka iurannya akan disesuaikan, misal jadi Rp 400.000. Demikian seterusnya.

asuransi-gabungan-untuk-menambal-bolong-bpjs-prof-djoko-santoso.jpg

 

Program gabungan asuransi

Selain penyesuaian risiko, Fuady juga melontarkan usulan lain yang lebih menyengat: menghapus monopoli BPJS Kesehatan dengan menciptakan kompetitor sepadan, agar ada persaingan sehingga kualitas layanan terus meningkat. Ini menarik didiskusikan, tapi tampak masih sulit terealisasi. Daripada memunculkan kompetitor, lebih realistis merancang kerja sama BPJS dan asuransi swasta, sebut saja program gabungan asuransi.

Rencana menggabungkan manfaat BPJS dan asuransi swasta sebenarnya bukan barang baru. Program ini telah diatur dalam Perpres No 111/2011, khususnya Pasal 28, dan sudah dicanangkan sejak 2013. Sayangnya masih mengalami banyak revisi dan hingga hari ini belum bisa berjalan. Program penggabungan manfaat ini disebut coordination of benefit (CoB), yaitu kerja sama manfaat antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta dengan tujuan melengkapi fasilitas BPJS Kesehatan, karena BPJS Kesehatan yang belum bisa memberikan layanan kesehatan yang lengkap dan tidak terbatas.

Program CoB ini bisa memberi tambahan manfaat nyata, dibandingkan jika hanya memiliki salah satu asuransi itu. Misalnya, bisa upgrade kamar dari kelas 1 ke VIP tanpa biaya tambahan. Selain itu, beberapa jenis perawatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS, kekurangan biayanya bisa ditanggung asuransi swasta. Dengan demikian, layanan yang diterima pasien juga jadi lebih cepat secara administrasi karena tak perlu banyak mempertimbangkan berapa limit biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan. Pasien langsung saja ditangani, dan jika ternyata biayanya melebihi limit yang bisa diberikan oleh BPJS, kekurangannya langsung ditanggung asuransi swasta.

 

Mencegah seleksi risiko

Selama ini perusahaan asuransi swasta dikritik terlalu selektif, bahkan dianggap diskriminatif pada calon pendaftar. Jika yang mendaftar sudah berusia lanjut dan memiliki banyak penyakit berat, kecil kemungkinan diterima. Jika akhirnya diterima, pasti preminya mahal sekali. Sebenarnya ini hal yang wajar karena perusahaan asuransi swasta dikelola dengan prinsip bisnis yang berorientasi profit.

Peserta berusia tua dan memiliki riwayat berbagai penyakit berat dianggap sebagai loss center, bukan profit center, sehingga akan menggerus kas perusahaan asuransi. Sebaliknya, peserta berusia muda atau remaja, berbadan sehat, tak punya riwayat penyakit berat, apalagi olahragawan, merupakan profit center alias tambang emas bagi perusahaan asuransi. Profil peserta demikian ini pastilah menjadi incaran perusahaan asuransi swasta.

Bukan berarti tak ada upaya untuk menjembatani ini. Di AS, sejak 2014 ada regulasi Affordable Care Act (ACA) yang menyatakan, perusahaan asuransi tak boleh lagi menolak pertanggungjawaban atau membebankan premi lebih tinggi kepada klien dengan alasan kondisi penyakit yang sudah diderita sebelumnya, seperti diabetes melitus, ginjal kronis, dan lupus. Regulasi ini bertujuan memudahkan mendapatkan pertanggungan bagi peserta asuransi yang sebelumnya sudah memiliki penyakit tertentu.

Regulasi ACA ini memang bisa menjadi ancaman yang merugikan perusahaan asuransi. Jika tak disertai peraturan pelaksanaan yang ketat dan bijak, ketentuan ini berpotensi menggoyahkan pasar asuransi kesehatan swasta. Maka, perusahaan asuransi swasta harus pintar-pintar meramu paket penawaran yang bisa memberikan pertanggungan bagi pendaftar dengan riwayat penyakit yang sulit, sembari tetap memberi nilai premi terbaik kepada konsumen.

Bagaimana cara menentukan harga premi untuk pendaftar baru yang memiliki berbagai riwayat penyakit sebelumnya? Salah satunya, dengan menerapkan tiga ketentuan menyangkut perbaikan sistem asuransi kesehatan: penyesuaian risiko, reasuransi, koridor risiko. Ini untuk mendorong persaingan sehat di antara perusahaan asuransi berdasar kualitas, nilai, dan mendorong stabilitas pasar asuransi, khususnya di awal perbaikan.

Dalam konteks ini, opsi ”penyesuaian risiko” seperti ditulis Fuady jadi menarik karena menerapkan asas proporsionalitas untuk tiap orang yang berbeda kondisi dan risikonya. Contoh di praktik klinik, ada perbedaan risiko dari kondisi kesehatan yang berbeda. Data menunjukkan, pengidap diabetes yang disertai penyakit jantung memiliki umur lebih pendek dibandingkan pengidap diabetes yang tak disertai penyakit jantung.

Jika seseorang berumur 60 tahun mengidap diabetes, angka harapan hidupnya akan berkurang sekitar 6 tahun. Jika ia juga memiliki penyakit jantung, harapan hidup akan berkurang 12 tahun. Ini membawa konsekuensi perawatan melalui pola hidup sehat, disiplin perawatan dan konsumsi obat yang tepat serta mungkin membutuhkan tindakan pemasangan ring/stent jantung. Konsekuensi inilah yang kemudian menjadi pertimbangan perusahaan asuransi swasta saat menerima pendaftar baru.

 

asuransi-gabungan-untuk-menambal-bolong-bpjs-prof-djoko-santoso-2.jpg

Persaingan efisiensi rencana

Apa yang disebut ”penyesuaian risiko” adalah upaya mitigasi terhadap ketidakpastian status kesehatan pendaftar yang membuat perusahaan asuransi berhati-hati dalam menawarkan produknya.

Apalagi jika dikaitkan dengan aturan bahwa perusahaan asuransi tak boleh lagi menolak pertanggungan atau tak boleh membebankan premi yang ekstrem lebih tinggi berdasar kondisi penyakit pasien yang sudah ada sebelumnya. Untuk mencegah potensi kerugian akibat tingginya jumlah pendaftar baru dengan riwayat penyakit tertentu, perusahaan asuransi akan melakukan seleksi hal yang merugikan (adverse selection) dan seleksi risiko (risk selection).

Fenomena perusahaan asuransi swasta menghindari peserta yang memiliki riwayat penyakit sebelumnya dikenal sebagai ”seleksi hal yang merugikan”. Fenomena ini memang bisa membuat premi rata-rata jadi lebih tinggi, yang akhirnya mengganggu pasar asuransi dan memojokkan pemerintah dalam menata sistem layanan kesehatan. Ketidakpastian status kesehatan pendaftar juga membuat perusahaan asuransi berhati-hati menawarkan produknya di pasar individu atau adverse selection. Akibatnya, penetapan premi akan terlalu konservatif.

Oleh karena itu, pemerintah harus menata regulasi dengan baik, dengan target mencegah kecenderungan perusahaan asuransi menerapkan seleksi yang merugikan. Pemerintah harus mencegah agar orang tak harus menunggu sampai sakit, baru mendaftar asuransi. Bentuk konkretnya, dengan membatasi pendaftar asuransi pada periode yang terbuka atau membuat pendaftaran di waktu khusus. Jangan membuka pendaftaran di periode terbuka, lalu juga mengharuskan sebagian besar orang memiliki pertanggungjawaban asuransi, bahkan kalau perlu pembayaran denda.

Metode seleksi lain adalah ”seleksi risiko”. Ini kondisi atau cara yang difokuskan ketika perusahaan asuransi memiliki kesempatan untuk menghindari orang yang berisiko tinggi atau kesehatannya buruk yang membutuhkan perawatan medis berbiaya mahal. Sepanjang tak melanggar regulasi, orang sakit berat yang membutuhkan perawatan medis mahal ini akan cenderung dihindari oleh perusahaan asuransi.

Secara prinsip, program ”penyesuaian risiko”, yang sepaket dengan reasuransi serta koridor risiko ini, dimaksudkan untuk melindungi dari dampak negatif model ”seleksi hal yang merugikan” dan ”seleksi risiko”, dan juga bekerja untuk menstabilkan premi. Program penyesuaian risiko dimaksudkan untuk memperkuat aturan pasar yang melarang pemilihan risiko oleh perusahaan asuransi. Idenya dengan biaya yang diperoleh, premi risiko rendah akan disubsidikan untuk pembiayaan risiko tinggi.

Ini akan mendorong perusahaan asuransi bersaing berdasarkan nilai dan efisiensi rencana, bukan dengan cara menarik pendaftar muda dan sehat saja. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengatur tentang koridor risiko, kriteria pungutan dan pembayaran, sumber dana, dan durasi program. Dengan demikian, penerapan program gabungan asuransi bisa sejalan dengan lontaran Menkes tentang perlunya tambahan asuransi swasta untuk menopang kebutuhan pembiayaan layanan kesehatan yang selama ini belum bisa dipenuhi sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan.

Berita terbaru, kini sudah ada beberapa RS yang mendesain poliklinik eksekutif. Pasien tetap menggunakan prosedur BPJS, tetapi ada iuran tambahan untuk RS, maksimal Rp 400.000, yang oleh staf lapangan disebut Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT). Beberapa RS lain sedang dalam proses pengajuan untuk membuka poli eksekutif. Artinya, lontaran Menkes sudah mulai direspons para praktisi di lapangan, dan semoga kian mendorong perbaikan di BPJS.

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur



Comments