Persaingan Bioteknologi AS-China


Kemajuan industri bioteknologi China ini akan membangkitkan peluang bagi Indonesia sepanjang kita cukup cerdik dan bisa memanfaatkannya.

Sampai hari ini, sulit dibantah bahwa Amerika Serikat adalah negara paling perkasa di dunia dan masih mendominasi kemajuan teknologi di berbagai bidang.

Namun, perkembangan belakangan mengindikasikan dominasi AS itu mulai terancam kemajuan penguasaan teknologi China.

Di sektor teknologi digital, kepopuleran Tiktok sampai membuat Pemerintah AS berniat melarang aplikasi buatan perusahaan asal China ini, kecuali sahamnya dijual kepada pengusaha AS. Paling baru, layanan kecerdasan buatan (AI) asal China, DeepSeek, muncul dan menggoyang keperkasaan pendahulunya, seperti ChatGPT dan Meta, produk perusahaan teknologi asal AS.

Munculnya DeepSeek sampai merontokkan harga saham-saham perusahaan teknologi AS, bahkan kapitalisasi Nvidia melorot 593 miliar dollar AS hanya dalam sehari. Ini cukup untuk menunjukkan keperkasaan China sebagai pesaing kuat AS di sektor teknologi digital.

Namun, yang cukup mengejutkan, sektor bioteknologi yang lama didominasi AS ternyata juga terancam oleh kemajuan pesat China dan tinggal menunggu waktu digeser China.

 

Kemajuan bioteknologi China

Kebangkitan China ini menjadi sorotan di industri bioteknologi dan farmasi global. Dalam acara bergengsi JP Morgan Healthcare Conference belum lama ini, para eksekutif perusahaan farmasi menyoroti perkembangan pesat riset dan inovasi bioteknologi China.

CFO Gilead, Andy Dickinson, mengungkap, China tengah bertransformasi dari pusat manufaktur menjadi kekuatan besar dalam inovasi bioteknologi.

Saat ini China memproses 6.280 item obat dalam pengembangan, ini berarti 1.200 persen dibandingkan satu dekade lalu.

Pertumbuhan ini mencerminkan kemajuan teknologi yang cepat serta investasi besar dalam penelitian dan pengembangan menjadikan korporasi China sebagai pesaing terkuat di bidang yang sebelumnya didominasi AS. Dampaknya, investor di sektor bioteknologi dan perusahaan farmasi multinasional semakin melirik ke China untuk ekspansi dan mengembangkan inovasi.

Ada satu contoh kemajuan bioteknologi China. Baru-baru ini YolTech Therapeutics, perusahaan bioteknologi China, meluncurkan uji klinis pertama di dunia untuk terapi pengeditan gen CRISPR in-vivo yang menargetkan penyakit darah, beta-thalasemia. Ini keberhasilan luar biasa di bisnis kesehatan berbasis editing gen.

 

persaingan-bioteknologi-as-china-prof-djoko-santoso.jpg

Dikutip dari laman endpts .com, startup bioteknologi China ini membuat gebrakan mengejutkan, memulai uji klinis pertama menggunakan teknologi editing gen CRISPR untuk mengedit sel, langsung di sumsum tulangnya. Ini terobosan besar dalam metode terapi gen, berbeda dari metode sebelumnya yang mengedit sel di luar tubuh sebelum nanti dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Metode baru ini mengedit langsung di dalam tubuh (in vivo) sehingga lebih menyederhanakan prosedur, mengurangi risiko komplikasi, dan meningkatkan keberhasilan terapi.

Kemajuan ini mencerminkan kebangkitan penelitian CRISPR di China, yang sempat meredup selama lima tahun karena skandal He Jiankui. Pada 2018, China menjadi sorotan dunia, gara-gara kontroversi He Jiankui yang melakukan editing sel sperma, yang dianggap melanggar etika karena mengedit calon bayi yang belum lahir. He Jiankui akhirnya diadili dan dipenjara selama tiga tahun.

Keberhasilan uji klinis metode pengeditan gen in-vivo ini dampaknya sangat besar bagi masa depan terapi editing gen. Metode ini tak hanya membuka peluang untuk mengobati lebih banyak jenis penyakit, tetapi juga menyederhanakan proses perawatan untuk pasien.

 

Perang biotek AS-China

Kemajuan pesat bioteknologi China ini membuat gusar AS yang selama ini mendominasi sehingga Januari lalu, DPR AS mengajukan rancangan undang -undang (RUU) yang disebut Biosecure Act, yang bertujuan melarang layanan kesehatan yang didanai Pemerintah AS, menggunakan layanan bioteknologi dari perusahaan China.

Beberapa perusahaan bioteknologi dari China, seperti BGI Group, MGI dan WuXi AppTec, misalnya, akan dilarang beroperasi di AS. Perancang RUU ini berpendapat otoritas partai dan Pemerintah China memiliki kekuasaan untuk melihat data pribadi yang disimpan perusahaan China, di mana pun wilayah operasinya, termasuk di AS.

Menyerahkan data genetik warga AS kepada perusahaan bioteknologi China, dipandang sebagai risiko keamanan nasional, sehingga harus dicegah dengan UU. Kasus ini bisa kita samakan dengan kebijakan Presiden Biden di akhir masa jabatan yang melarang Tiktok beroperasi di AS, kecuali saham mayoritasnya dijual ke perusahaan AS.

Kekhawatirannya, perusahaan-perusahaan China yang beroperasi di AS, selain melayani konsumen, juga berperan sebagai agen pemerintah dan Partai Komunis China untuk menyerap data pribadi warga AS.

persaingan-bioteknologi-as-china-prof-djoko-santoso-2.jpg

Menurut investigasi Reuters pada 2021, ketakutan ini tak sepenuhnya tidak berdasar. BGI (sebelumnya bernama Beijing Genomics Institute) terbukti bekerja sama dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China dalam pengembangan riset pengurutan gen, serta menyimpan data dari jutaan tes pranatal secara global ke dalam database gen milik Cina.

Namun, Reuters juga tak menemukan bukti bahwa data ini disalahgunakan, dan perusahaan itu menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberikan atau diminta memberikan data genom kepada otoritas China.

Pembahasan RUU ini terus bergulir, dengan membahas ma -suknya surat yang berisi usulan agar WuXi AppTec, perusahaan bioteknologi dan peralatan medis multinasional yang berkantor pusat di Shanghai, dikenai sanksi. Surat tersebut mengklaim WuXi AppTec memiliki hubungan dengan PLA, dan dengan demikian merupakan ancaman terhadap keamanan nasional AS.

Tuduhan ini dibantah WuXi AppTec lewat pernyataan di laman perusahaan yang menyatakan: ”WuXi AppTec memiliki rekam jejak yang kuat dalam menjunjung tinggi standar perlindungan kekayaan intelektual, data dan privasi, serta menjaga kepercayaan pelanggan kami.”

Perusahaan ini sebelumnya bahkan pernah bekerja sama dengan perusahaan multinasional papan atas, seperti Pfizer, AstraZeneca, dan GSK.

Jika UU yang sifatnya proteksionis ini diberlakukan, sepintas akan melindungi perusahaan-perusahaan bioteknologi AS yang terancam disaingi kompetitornya dari China.

Namun, para pendukung RUU ini bahkan sudah berimajinasi jauh ke depan. Misalnya, menyatakan bahwa pengumpulan data genom warga AS ini berpotensi digunakan untuk mengembangkan senjata biologis yang nantinya akan dipakai untuk menargetkan rakyat AS.

Ketakutan di kalangan pemerintah dan DPR AS terhadap invasi perusahaan bioteknologi China ini makin menjadi.

Menurut laporan Endpoints News, MGI, perusahaan China yang menjadi alternatif perusahaan bioteknologi AS Illumina, dapat memecahkan kode genom dengan biaya hanya sekitar 100 dollar AS, jauh lebih rendah dari biaya yang diterapkan oleh perusahaan AS.

MGI yang berkantor pusat di Shenzhen ini menghadapi hambatan karena dituding memiliki hubungan dengan BGI Group, salah satu perusahaan bioteknologi China yang akan disasar oleh RUU Biosecure Act.

 

Kolaborasi lebih menjanjikan

Apakah RUU Biosecure Act ini akan disetujui seluruh rakyat AS dan bisa menghambat kemajuan invasi bioteknologi China? Tampaknya tidak. Pada 2019, Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-China menyusun laporan perkembangan bioteknologi China, yang mencatat adanya potensi risiko keamanan, tetapi tidak menganggapnya sebagai kekhawatiran utama.

Topik pencurian kekayaan intelektual, misalnya, tak hanya terjadi di China, tetapi juga negara lain, dan umumnya terjadi di industri dengan inovasi tinggi.

Laporan ini tak menyarankan sanksi pada perusahaan bioteknologi China, tetapi merekomendasikan agar AS mendorong perusahaan bioteknologi China bergerak menuju norma internasional dalam hal pembagian data. Serangkaian opsi alternatif disampaikan, seperti menerapkan perjanjian perdagangan bebas hingga penerapan tarif terhadap produk bioteknologi China.

Laporan itu bahkan menyatakan bahwa sejauh ini integrasi dan kolaborasi berjalan sangat erat sehingga kebijakan proteksionis, seperti RUU Biosecure Act, justru akan menimbulkan biaya tinggi bagi inovasi, kesejahteraan, dan kesehatan warga AS.

Biotechnology Innovation Organization, organisasi perdagangan terkemuka berbasis di AS, menyatakan, lembaganya sedang mengevaluasi sejumlah usulan kebijakan dan legislasi untuk membantu mempercepat inovasi medis dan memastikan agar AS tetap menjadi pemimpin di sektor penting ini.

Namun, mempertahankan dominasi AS bukanlah hal mudah. Saat ini industri bioteknologi AS masih memiliki kekuatan signifikan, termasuk sejarah panjang inovasi, infrastruktur regulasi yang kokoh, kekuatan modal dan kemitraan yang mapan. Namun, para ahli memperingatkan, ketidakmampuan beradaptasi dengan realitas kompetisi yang baru bisa mengakibatkan AS kehilangan posisi, terutama karena China menggabungkan kecepatan dan skala.

Daripada melihat pergeseran ini sebagai persaingan yang saling meniadakan (zero sum game), beberapa ahli melihat adanya peluang untuk kolaborasi, antara lain lewat perjanjian lisensi dan kerja sama penelitian antarnegara, yang memungkinkan dua kekuatan besar bisa lebih efektif mengatasi tantangan secara bersama.

Bagi investor dan warga dunia, pertanyaannya bukan siapa yang akan mendominasi, tetapi bagaimana persaingan ini bisa berubah menjadi kolaborasi yang akan mendatangkan manfaat bersama. Namun, tampaknya kolaborasi dua superpower bioteknologi ini masih sulit terwujud dalam waktu dekat.

 

Tantangan untuk Indonesia

Kemajuan industri bioteknologi China ini akan membangkitkan peluang bagi Indonesia, sepanjang kita cukup cerdik dan bisa memanfaatkannya.

Kerja sama riset dan perdagangan produk bioteknologi, farmasi, dan kesehatan dengan China, diyakini akan lebih terbuka dibandingkan dengan AS. Jika belum mampu memproduksi sendiri, impor produk bioteknologi dan farmasi dari China dipastikan lebih murah dibandingkan produk AS dan negara Barat lainnya.

Dalam hal industri produk farmasi, sejauh ini Indonesia masih sangat tergantung pada impor bahan baku, terutama dari China dan India. Menurut data Kementerian Perindustrian, lebih dari 90 persen bahan baku industri farmasi nasional masih dipenuhi dari impor.

Sebagai contoh, impor bahan baku obat (BBO) kita terus meningkat dari 27.050 ton atau senilai 294 juta dollar AS di 2019, menjadi 35.890 ton atau sekitar 509 juta dollar AS pada 2022. Impor paling banyak dari China (45 persen), disusul India (27 persen) dan AS 8 persen.

Bergabungnya Indonesia ke BRICS akan meningkatkan hubungan bilateral dengan China, termasuk di pendidikan, riset bioteknologi dan farmasi. Merapat ke China bukan berarti harus menjauh dari AS. Kita bisa mengambil manfaat dari bekerja sama dengan keduanya.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 



Comments