Hikmah Ramadan: Puasa Ramadan, Barokah dan Kesehatan
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA-Umat muslim di seluruh dunia baru saja memasuki bulan suci Ramadan dengan rasya bersyukur. Meskipun status pandemi Covid-19 belum resmi dicabut, tetapi situasinya sudah semakin membaik.
Kali ini kita sudah boleh melakukan salat tarawih berjamaah, tadarus dan iktikaf di masjid, bahkan sudah tidak wajib lagi mengenakan masker. Sampai hari ini, cakupan vaksinasi booster pertama sudah mencapai angka sekitar 75 persen, booster kedua sekitar 68 persen , bahkan booster ketiga sudah menjangkau sekitar tiga juta orang sehingga sudah jauh lebih aman karena sudah tercapai kekebalan kelompok atau herd immunity. Tentu ini karunia Allah yang wajib kita syukuri.
Selama Ramadan umat Islam menjalankan kewajiban ibadah puasa, menjalankan perintah Allah yang tertera pada surat Albaqoroh ayat 183: Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Tujuannya antara lain agar lebih menahan diri, mengendalikan nafsu, memupuk kesabaran, berempati pada kaum faqir miskin, memupuk kepekaan sosial, serta berani menegakkan keadilan dan kebenaran.
Sejatinya puasa tidak hanya memiliki dimensi fiqih semata, tetapi juga pada semua aspek kehidupan, termasuk berdimensi medisnya. Puasa adalah salah satu metoda untuk menyehatkan badan, yang sudah ribuan tahun digunakan oleh bangsa bangsa yang berkebudayaan tinggi, bahkan sebelum Islam lahir.
Beberapa peradaban kuno seperti Yunani, Romawi , Mesir dan China, sudah mengenal budaya puasa dengan tujuan yang beragam, ada yang untuk ritual keagamaan, ada juga untuk tujuan kesehatan. Bangsa Romawi misalnya, mengenal puasa sebagai metoda diet, atau bangsa China kuno mengenal puasa sebagai metoda detoksifikasi, untuk membersihan tubuh dari racun yang menyertai makanan.
Secara medis, puasa terbukti memberikan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh. Banyak penelitian medis yang menunjukkan bahwa puasa bisa mendorong terciptanya kondisi keseimbangan nitrogen, mengurangi peradangan, dan memberikan efek menyegarkan tubuh. Dengan melihat sejarahnya, bahwa puasa Ramadhan berakar pada budaya puasa bangsa bangsa berperadaban tinggi ribuan tahun sebelumnya, ini menjadi evidence based medicine di era kedokteran modern.
Tinjauan studi klinis berbasis bukti tentang puasa ramadhan setidaknya telah di sebut oleh Valter D. Longo, Mark P. Mattson dengan judul Fasting: Molecular Mechanisms and Clinical Applications” yang di muat di jurnal Cell Metab (2014); 19(2); 181-192. Dengan berpuasa penuh selama bulan Ramadan, maka tubuh mengalami defisit kalori sekitar 465 kKal atau sekitar 25 persen dari asupan yang didapat sehari-hari jika tidak berpuasa.
Setidaknya, di sinilah puasa berfungsi sebagai diet, salah satu metoda untuk mengurangi obesitas dan menjaga kesehatan. Membatasi makan dalam jumlah yang tidak berlebihan, tetapi dengan nutrisi yang lengkap dan berimbang, akan mencegah datangnya potensi penyakit yang diakibatkan dari kelebihan makanan.
Prinsip ini pula yang bisa dijadikan dasar untuk berpuasa di luar bulan Ramadan, untuk menjaga agar badan dan jiwa tetap sehat. Misalnya, umat Islam mengenal puasa Senin-Kamis yang kemudian diadopsi menjadi tradisi Jawa, puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), puasa syawal, dan puasa sunah lainnya.
Sekarang, banyak klinik yang memanfaatkan praktik puasa, dan mengembangkannya sebagai metoda pengobatan di bidang medis, seperti penanganan obesitas atau pencegahan penyakit tertentu. Dalam hal ini pasien bisa menjalani puasa sangat rendah kalori, kurang dari 200 kKal/hari, dan dalam durasi tertentu serta dalam pengawasan oleh dokter. Selain itu, jarang disadari, sebenarnya hampir semua orang berpuasa tiap hari, yaitu saat tidur malam hingga pagi hari. Dalam bahasa Inggris puasa disebut fasting, dan karena itulah sarapan disebut breakfast (mengakhiri puasa).
Puasa Menurut Medis
Secara fisik, puasa adalah kondisi tanpa asupan makan dan minum dalam jangka waktu tertentu. Secara fiqih, durasi puasa Ramadan dimulai sejak datangnya waktu sholat subuh hingga datangnya adzan sholat magrib atau matahari terbenam, yaitu berkisar antara 11 hingga 22 jam, tergantung wilayah geografis.
Puasa sendiri dalam bahasa Inggris diartikan sebagai fasting atau kelaparan yang merupakan kondisi kekurangan gizi. Memang, kelaparan dalam kondisi kronis, misal hanya menerima asupan dibawah 100 kKal per hari dan dalam jangka waktu yang sangat lama, bisa berakibat fatal.
Tapi puasa bukanlah seperti itu. Puasa Ramadan atau puasa lainnya, adalah memberhentikan asupan makanan-minuman ke tubuh selama periode waktu tertentu, ada jeda waktu yang panjang (dari subuh hingga magrib), agar mendapatkan beberapa proses katabolisme yang terkendali. Ini juga berbeda dengan diet, yang merupakan pengurangan asupan kalori hingga jumlah tertentu, misal maksimal hanya 30% dari biasanya, tetapi frekuensi makannya tetap dipertahankan dan tidak ada jeda waktu makan yang ketat.
Beberapa riset pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan, puasa memberi beberapa manfaat, diantaranya bisa meningkatkan fungsi otak, meningkatkan sintesis sel saraf, melindungi dari kondisi neurodegeneratif seperti penyakit alzheimer dan parkinson, dan menunda proses penuaan. Di dunia kedokteran, puasa juga dikenal untuk tujuan diagnostik. Misalnya berpuasa menjelang tes darah, agar hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang lebih akurat. Asupan nutrisi sesaat bisa mengacaukan pengukuran, kadar gula darah atau kadar kolesterol trigliserida bisa terdeteksi tinggi. Padahal itu dikarenakan sinyal positif palsu atau tidak akurat yang disebabkan masuknya nutrisi sesaat. Itulah sebabnya, sebelum melakukan test darah, kita disarankan untuk berpuasa selama 9-10 jam.
Selain itu, berpuasa juga ditujukan untuk tindakan medis seperti operasi atau pembedahan. Puasanya di sini dimaksudkan untuk menghindari masuknya makanan ke saluran napas. Untuk diketahui, pada operasi dengan pembiusan total, maka gerakan di saluran pencernaan akan berhenti/lumpuh karena efek dari pembiusan. Agar tidak terjadi aspirasi (masuknya makanan ke saluran napas), maka isi perut harus dikosongkan dengan berpuasa dahulu, atau dengan urus-urus.
Peran Biologis Puasa
Secara biologis manusia membutuhkan asupan nutrisi untuk mempertahankan tubuh agar berlangsung normal dalam beradaptasi dengan lingkungannya dan terhindar dari penyakit. Ini menjadi bagian dari perilaku makan yang polanya berjeda 8 sampai 14 jam. Ketika pola jeda waktunya berubah menjadi 11-22 jam saat berpuasa Ramadan, maka secara alamiah tubuh akan membentuk sistem kontrol metabolis untuk menjaga aliran nutrien dan menjaga agar organ tetap berfungsi selama berpuasa.
Saat berpuasa, tubuh otomatis akan menghemat energi, karena aktivitas yang dilakukan selama puasa berangsur berkurang. Jika durasi berpuasa diperpanjang, akan muncul gejala penurunan aktivitas fisik, sehingga meminimalkan konsumsi energi dan penurunan kecepatan metabolisme saat tubuh istirahat. Walaupun tidak ada asupan kalori protein dalam rentang tertentu, kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh bisa tetap terpenuhi selama periode berpuasa. Sebab, tubuh dilengkapi dengan sistem peringatan yang melibatkan respon saraf dan hormonal. Mekanisme ini dapat mengenali kekurangan kalori dengan rentang waktu 24 jam, dan meresponnya sebagai bentuk kompensasi tubuh melalui proses yang disebut katabolik.
Saat puasa, tubuh akan mencari cara untuk mengatasi persoalan tidak masuknya nutrisi dan mengurangi akibat kelaparan selama sehari. Dalam 24 jam pertama puasa, glukosa-asam lemak darah yang tersedia dan glikogen hati-otot akan digunakan sebagai sumber bahan bakar atau energi tubuh. Namun, jumlahnya masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk metabolisme sehari-hari saat tidak berpuasa. Jika belum ada asupan nutrisi lagi, maka trigliserida (dari jaringan lemak) akan dipecah menjadi asam lemak dan keton, yang dipakai oleh jaringan non otak sebagai sumber energi tubuh. Otak akan memperoleh energi hanya melalui jalur yang menghasilkan glukosa. Dalam keadaan biasa, otak menggunakan 5 gram glukosa/jam sebagai sumber energi, baik puasa maupun tidak. Otak juga mampu menggunakan keton sebagai sumber energi, baik ketika bangun, tidur, ataupun ketika sedang berpikir.
Mark P Mattson, ahli saraf pada Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, memberikan menjelaskan berikut. Dalam kondisi sehari hari, hati menyimpan glukosa, yang digunakan oleh tubuh (terutama otak) sebagai energi, sebelum berubah menjadi pembakaran lemak tubuh. Dibutuhkan 10 hingga 12 jam untuk menghabiskan kalori di hati, sebelum terjadi pergeseran metabolisme untuk menggunakan lemak yang tersimpan sebagai energi. Setelah makan, maka glukosa akan digunakan untuk energi, dan sisa kelebihannya akan di simpan di hati, sedang unsur lemaknya akan disimpan di jaringan lemak. Tetapi selama berpuasa, begitu glukosa habis digunakan sebegai energi, maka timbunan lemak akan dipecah dan digunakan sebagai energi meskipun dengan kecepatan metabolisme yang lebih lambat.
Orang yang berupaya menurunkan berat badan harus berjuang agar selama 16 jam terbebas dari penambahan kalori. Tetapi Mattson yang telah mempelajari dampak kesehatan dari puasa intermiten selama 25 tahun, menyarankan cara yang lebih mudah. Yaitu dengan berhenti makan pada jam 7 malam, kemudian dilanjutkan dengan tidak sarapan esok harinya, dan baru makan lagi pada jam 11 menjelang siang. Inilah yang disebut metoda diet 7: 11, seperti ditulis di The New England Journal of Medicine. Singkatnya, pola ini terbentuk dari makan dengan waktu terbatas setiap hari, dengan mempersempit rentang waktu makan menjadi 8 jam per harinya.
Puasa yang sudah dibiasakan, secara berangsur dapat menurunkan berat tubuh. Tetapi, masalah utama pengelolaan kegemukan adalah bagaimana mempertahankan penurunan berat badan. Kegemukan merupakan gangguan pola makan, yang tidak dapat diatasi hanya dengan membatasi asupan makanan begitu saja. Karena, tubuh kurang mampu merespons isyarat endogen yang mengatur tingkah laku makan.
Manfaat Lain Kesehatan Puasa
Manfaat puasa tidak hanya terkait dengan kalori, berat badan, dan nutrisi, namun juga manfaat yang lebih kompleks. Misalnya, berpuasa dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh makanan atau pola makan, seperti diabetes dan penyakit jantung. Dengan berpuasa sesekali, kita bisa menurunkan level dari beberapa faktor risiko berbeda, seperti tekanan darah, kolesterol, trigliserida, dan gula darah.
Secara mengejutkan, puasa dapat meningkatkan kontrol gula darah dengan mengurangi resistensi insulin, yang sangat berguna bagi mereka yang berisiko terkena diabetes. Ada penelitian pada 10 orang pasien diabetes tipe 2 yang menunjukkan bahwa puasa jangka pendek mampu menurunkan kadar gula darah secara signifikan. Ada juga tinjauan studi yang menemukan bahwa puasa intermiten sama efektifnya dengan membatasi asupan kalori untuk mengurangi resistensi insulin, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin, memungkinkannya mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel tubuh dengan lebih efisien. Maka berpuasa bisa mencegah fluktuasi naik turunnya gula darah, dan menjaganya tetap stabil.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, baik puasa yang wajib maupun puasa sunah, banyak sekali manfaatnya untuk kesehatan tubuh dan jiwa. Namun bagi umat Muslim, puasa Ramadan adalah kewajiban. Bahwa ternyata menurut medis sangat bermanfaat bagi kesehatan, ini adalah bonus barokah yang pantas disyukuri. Untuk itu, selamat melanjutkan ibadah puasa Ramadan hingga tuntas nanti, semoga mendapatkan barokah.
Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur
Source: https://jatim.tribunnews.com/2023/03/31/hikmah-ramadan-puasa-ramadan-barokah-dan-kesehatan
Keywords: