Mendorong Kedokteran Presisi


Kedokteran presisi merupakan metode optimalisasi layanan medis, baik untuk pencegahan maupun pengobatan tepat sasaran, dengan memanfaatkan kemajuan disiplin ilmu lain. Ini episode terbaru dari evolusi ilmu kedokteran.

Belum lama ini, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono menyebutkan, ”kedokteran presisi” menjadi keniscayaan untuk layanan kesehatan masa depan.

Kedokteran presisi akan memungkinkan tiap pasien mendapatkan penapisan yang lebih sensitif, diagnosis yang lebih tepat, serta tindakan medis dan pengobatan yang lebih efektif. Ini disampaikan Dante pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Kompas, 23/8/2022).

Kata Dante, kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) nyatanya tak cukup untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan masyarakat, seperti persoalan diabetes melitus. Pada kasus pengobatan penyakit diabetes melitus di Indonesia, hanya sekitar 30 persen pasien yang memiliki gula darah yang terkontrol setelah mengonsumi obat. Artinya, 70 persen pasien sisanya tak terkontrol gula darahnya. Penyebabnya, setiap orang memiliki respons obat yang berbeda, tidak bisa disamaratakan.

Dante juga menyebut sebuah studi lain berdasarkan populasi, yang menunjukkan terapi inhibitor DPP 4 (dipeptidyl peptidase IV) memberikan respons yang lebih baik pada populasi Asia dibandingkan Kaukasia. Respons terapi metformin pun berbeda antara populasi Afrika- Amerika dan Eropa-Amerika.

Menurut Dante, terapi diabetes melitus tidak hanya diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan penunjang secara umum, tetapi juga berdasarkan faktor pembeda dari setiap individu. Inilah yang dapat menunjukkan penyebab timbulnya penyakit, faktor yang memengaruhi perjalanan penyakit, dan respons terapinya.

Nah, dengan kedokteran presisi yang menggabungkan antara kedokteran berbasis bukti dan informasi genetika, akan diketahui obat apa yang efektif pada seseorang setelah dilakukan sequencing. Kedokteran presisi juga memungkinkan untuk memprediksi komplikasi yang bisa dialami berdasarkan pola genetika pasien sehingga diagnosis dan terapi yang diberikan bisa diarahkan untuk mencegah kemungkinan komplikasi tersebut.

Penelitian dan pencarian terus-menerus agar diagnosis bisa semakin tepat dan pengobatan semakin efektif tentu menarik dan bermanfaat.

mendorong-kedokteran-presisi-kompas-prof-djoko-santoso-1.jpg

 

Mengenal kedokteran presisi

Sebenarnya kedokteran presisi bukanlah sebuah cabang disiplin ilmu kedokteran tersendiri, melainkan metode baru yang menggabungkan pemanfaatan sejumlah kemajuan, seperti ilmu genetika atau biologi molekuler, teknologi digital khususnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), psikososial, serta pemahaman terhadap lingkungan dan gaya hidup, untuk dikombinasikan dengan ilmu kedokteran medis.

Targetnya adalah menghasilkan diagnosis, tindakan medis, dan pengobatan yang lebih tepat dan efisien secara personal, tidak sama rata. Ini semacam kustomisasi layanan kesehatan, menjawab kelemahan bahwa ”apa yang cocok untuk seseorang belum tentu cocok jika diterapkan pada orang lain”.

Setiap orang punya perbedaan fisik, karakter, dan kejiwaan yang tidak sama satu sama lain. Contoh penanda perbedaan yang tidak mungkin sama pada tiap orang adalah sidik jari, yang di kemudian hari dipakai sebagai metode analisis untuk penanganan tindak kejahatan. Penanda perbedaan untuk dunia medis, kita mengenal gen, di mana setiap orang mempunyai untaian kromosom yang berbeda satu sama lain sehingga menyebabkan perbedaan fisik.

Para ahli sudah lama meneliti karakteristik gen. Saat pandemi Covid-19 yang lalu, ahli genetika dari beberapa negara berkolaborasi dalam wadah Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID) untuk mengumpulkan dan mengurutkan genom virus SARS CoV-2 di seluruh dunia guna mengetahui karakternya sehingga penanganannya bisa lebih efektif. Pakar genetika kita ikut berperan dalam pengurutan genom virus SARS CoV-2 yang masuk ke Indonesia dan menyumbangkan hasil pemetaannya ke GISAID.

Kemajuan menarik dalam ilmu genetika ini adalah munculnya teknologi pengeditan gen yang menakjubkan. Pengeditan gen Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) adalah salah satu metode pengeditan gen dengan cara memotong dan menempel gen yang ditargetkan ke dalam DNA.

Istilah ini pertama kali ditemukan tahun 1990-an pada arkea dan bakteri yang mengandung salinan gen virus di mana organisme ini melindungi sel dari infeksi. Riset dan penemuan metode pengeditan DNA (CRISPR Cs 9) ini membuka peluang untuk memitigasi terjadinya penyakit/kecacatan seseorang di masa depan.

Pusat kanker Fred Hutchinson di Seattle menemukan lebih dari 100 faktor risiko genetik baru yang sangat terkait dengan kanker kolorektal, melalui analisis yang menggunakan kumpulan data biologis berskala besar, seperti genom, proteome, dan transkriptom.

Studi ini berpotensi untuk membuka jalan bagi skrining dan terapi pencegahan yang lebih baik. Ini memungkinkan dokter menentukan siapa yang berisiko lebih tinggi terkena penyakit kanker kolorektal ganas, suatu penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan diobati (Peter, jurnal Nature Genetics, 2022).

Jadi, kedokteran presisi lebih merupakan metode optimalisasi layanan medis, baik untuk pencegahan maupun pengobatan tepat sasaran, dengan memanfaatkan kemajuan disiplin ilmu lain, seperti biologi molekuler, digitalisasi data, dan AI. Seiring kemajuan iptek, khususnya kedokteran dan kesehatan, kian hari rata-rata umur manusia atau angka harapan hidup kian bertambah.

Menurut Leroy E Hood, untuk meningkatkan angka harapan hidup, kedokteran harus semakin fokus pada pencapaian empat hal, yaitu prediksi, pencegahan, personalisasi, dan partisipasi.

Di masa lalu hingga sekarang ini, praktik kedokteran lebih fokus pada model pengobatan reaktif tradisional yang mendasarkan pada gejala, diagnosis, dan pengobatan. Pada poin pencegahan, artinya dunia kedokteran harus beralih dari model pengobatan reaktif tradisional, ke model yang menargetkan atau mencegah potensi penyakit sebelum terjadi.

Personalisasi diartikan, jika penyakit itu terjadi dan tidak dapat dihindari, metode pengobatannya dengan cara yang lebih dipersonalisasi, menyesuaikan dengan identifikasi fisik, seluler, biomolekuler, genetis, dan identifikasi nonfisik pasien. Inilah salah satu contoh implementasi kedokteran presisi.

Bisa dikatakan, pengobatan presisi ini episode terbaru dari rangkaian panjang evolusi ilmu kedokteran. Di zaman kuno, praktik pengobatan didasarkan pada tanda dan gejala yang ditunjukkan pasien, dan pengobatannya semata berdasarkan keahlian individual dokter dan dengan demikian disebut pengobatan intuisi.

Sekarang, praktik kedokteran didasarkan pada bukti yang dihasilkan dari rangkaian panjang riset ilmiah, dan proses ketat pengujian yang disebut uji klinis, sehingga kemudian disebut sebagai ”kedokteran berbasis bukti”.

Baik dulu maupun sekarang praktik kedokteran masih didominasi atau berorientasi pada pengobatan reaktif.

 

mendorong-kedokteran-presisi-kompas-prof-djoko-santoso-2.jpg

 

Praktik kedokteran semakin maju, dan kini mulai berbasis pada penggunaan algoritma dan AI yang mempertimbangkan karakteristik pasien yang sangat individual. Algoritma dan AI secara presisi akan mampu memetakan DNA, genom, respons epigenetik terhadap perubahan lingkungan, gaya hidup, dan sebagainya sehingga bisa memprediksi dan menargetkan penyakit dengan tepat.

Inilah yang kemudian disebut kedokteran presisi, yang akan semakin personal terhadap pasien. Diagnosis, tindakan medis, dan pengobatan akan semakin presisi, bisa berbeda antara satu pasien dan pasien lain meski, misalnya, sama-sama penderita penyakit diabetes melitus dan memiliki komorbid sama.

Dari sini, kedokteran presisi ini bisa diarahkan agar berorientasi pada pencegahan atau preventif. Dengan mengenali kekhasan genetik seseorang dan gaya hidupnya, dengan kemampuan AI, bisa diketahui potensi penyakitnya, dan selanjutnya bisa disiapkan skenario tindakan pencegahannya agar penyakit itu tidak jadi muncul.

Kalaupun akhirnya penyakit itu muncul dan tak bisa dihindari, sejak dini bisa disiapkan tindakan medis dan pengobatannya, dengan cara yang sangat personal. Inilah puncak harapan pada kedokteran presisi. Jadi, kita sekarang dalam proses peralihan dari kultur kedokteran reaktif ke kultur kedokteran presisi yang lebih personal dan preventif.

 

Pengobatan presisi

Perkembangan kedokteran presisi kemudian diikuti munculnya istilah ”pengobatan presisi”. Lebih dari satu dekade lalu, publikasi Dewan Riset Nasional AS menyebut, ”presisi” istilah yang lebih baik untuk merujuk klasifikasi orang ke dalam subpopulasi menggunakan pola genetik, gaya hidup, respons obat, faktor lingkungan, dan budaya yang sama.

Dengan demikian, pengobatan presisi adalah pendekatan inovatif, di mana serangkaian informasi yang dihasilkan setiap hari dalam sistem perawatan kesehatan digunakan untuk memberikan pengobatan yang paling efisien dan pada waktu yang tepat sehingga pasien akan mendapatkan manfaat yang terbaik.

Pengobatan presisi bukan dimaksud untuk merancang pengobatan yang unik untuk setiap pasien, bukan pula merancang satu obat khusus untuk satu pasien karena akan sulit secara teknis dan mahal, melainkan memanfaatkan peta karakter individu dengan menggunakan data genetik yang tersedia karena pengembangan metode pengurutan DNA saat ini semakin cepat dan murah.

Sepuluh tahun lalu, pengurutan genom menelan biaya sekitar 1 miliar dollar AS dan memakan waktu sekitar 13 tahun. Sekarang ini biayanya terpangkas jauh, hanya 1.500 dollar AS dan hanya memakan waktu beberapa jam.

Pada waktu yang sama juga terjadi kemajuan pesat dalam teknologi penyimpanan data. Contoh sederhana, media penyimpanan data hard disk yang tertanam di laptop 20 tahun lalu, kapasitasnya sekitar 32 GB, sekarang sudah melonjak di kisaran 500 GB hingga 1 TB. Itu pun dalam dimensi lebih ringkas. Dulu masih menggunakan hard disk konvensional yang tebal dan berat, kini cukup dengan SSD kecil dan ringan.

Pada tahun-tahun mendatang, pengobatan presisi kemungkinan akan bisa dipraktikkan untuk beberapa jenis penyakit. Misalnya, penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia, dan ini terkait dengan faktor genetik yang substansial. Maka, metode pengobatan yang dipersonalisasi bisa menyesuaikan strategi terapeutik dan pencegahan, berdasarkan profil genomik, epigenomik, dan proteomik tiap pasien.

Metode ini akan sangat membantu ahli jantung dan penyedia layanan kesehatan untuk memilih obat individual yang paling tepat dan paling minim efek sampingnya sehingga pengobatan akan semakin sempurna.

Demikian juga untuk penyakit kanker, yang merupakan akibat kelainan genom. Jenis kanker yang berbeda dapat memiliki profil genetik yang sangat berbeda. Dengan melacak profil genetik tumor pasien, dokter dapat mempelajari bentuk perawatan dan pengobatan yang paling tepat untuk setiap pasien.

Beberapa pengobatan presisi untuk kanker sudah menggunakan target penanda molekuler spesifik yang hanya ditemukan pada jenis kanker tertentu. Misalnya, kanker usus besar yang memiliki versi protein permukaan yang berfungsi normal dan disebut KRAS cenderung merespons terapi antibodi anti-EGFR tertentu.

Dua jenis pengobatan kanker target lainnya yang saat ini digunakan adalah Herceptin dan Opdivo, perawatan imunoterapi yang targetnya meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar mampu melawan serangan sel kanker (berbeda dengan metode pengobatan yang targetnya membasmi sel kankernya).

Metode ini cukup berhasil, dan dalam beberapa kasus bisa menghilangkan semua penanda kanker metastatik yang terlihat, dalam jangka waktu beberapa minggu. Karena keberhasilan ini, majalah sains menyebut imunoterapi kanker sebagai terobosan pada tahun 2013.

Dengan demikian, tampak bahwa gabungan kemajuan teknologi pengurutan genom yang semakin cepat dan murah, serta kemajuan teknologi penyimpanan data, berimplikasi sangat luas. Ini yang memungkinkan untuk mengumpulkan miliaran data tentang patofisiologi, DNA-genom, mikrobioma, riwayat penyakit, karakteristik personal, dan lain-lain dalam format yang ringkas sehingga sangat membantu dalam proses diagnosis dan pengobatan yang presisi.

Ujungnya, metode pengobatan presisi akan mengurangi biaya pengobatan dan perawatan penyakit kronis dan katastropis, seperti jantung, gagal ginjal, stroke, dan kanker, yang selama ini mendominasi pembiayaan BPJS. Dengan kedokteran presisi, semoga ke depan pembiayaan BPJS bisa dialokasikan lebih merata untuk berbagai penyakit lain sehingga layanan kesehatan nasional bisa semakin merata dan berkualitas.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Unair
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jatim

 



Comments