Menyelami Visi Iptek Capres
Sejak era Soeharto sampai hari ini kita belum sanggup menghasilkan mobil dan motor yang utuh produksi dalam negeri.
Isu kesejahteraan sosial, pendidikan, kebudayaan, teknologi informasi, kesehatan, tenaga kerja, sumber daya manusia (SDM), dan inklusi menjadi topik debat terakhir calon presiden, 4 Februari lalu.
Di mana posisi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam debat tersebut? Bisa kita lihat, materi iptek hanya merupakan satu poin kecil yang disisipkan pada sesi debat terakhir, itu pun hanya terbatas pada teknologi informasi (TI). Hal ini menggambarkan bahwa iptek tidak dianggap sebagai isu penting yang layak didebatkan oleh capres dalam kontestasi pilpres.
Persoalan iptek yang hanya dianggap cukup diwakili sektor TI saja jelas tidak tepat. TI memang mempercepat proses kemajuan iptek dalam beberapa dekade terakhir, tetapi ini hanyalah sektor hilir.
TI adalah instrumen yang bisa digunakan untuk semua sektor iptek, mulai dari teknologi kedokteran, mikrobiologi. maritim, kedirgantaraan, metalurgi, energi, transportasi, pertambangan, otomotif, dan banyak sektor iptek lainnya. Menampilkan sebuah ranting kecil ”teknologi informasi” untuk menggambarkan pohon besar iptek jelas sangat tidak memadai.
Iptek menjadi tulang punggung kemajuan dan kemakmuran di berbagai negara. Negara yang dikenal memiliki keunggulan iptek sejak abad lalu, seperti AS, Jerman, Inggris, Perancis, dan Jepang, sampai hari ini menjadi negara makmur.
Beberapa negara yang dulunya miskin, tetapi kemudian mengejar kemajuan iptek, seperti Korea Selatan, China, dan Singapura, kini berhasil menjadi negara yang maju dan makmur. Sulit dibantah bahwa kemajuan iptek jadi tulang punggung kemajuan sebuah negara.
Sebuah negara bisa memacu kemajuan ipteknya jika pemerintahnya serius dan fokus menggerakkan riset: menyusun peta jalan dan prioritasnya, membangun SDM-nya, tata kelola kelembagaannya, dan tentu saja mengalokasikan pendanaan yang cukup sehingga bisa membentuk ekosistem riset yang kuat dan unggul.
Riset adalah fondasi kemajuan iptek dan ekosistem riset yang bagus akan mendorong ke berbagai inovasi yang membawa kemajuan. Riset adalah investasi jangka panjang untuk meraih kemajuan sehingga seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Ekosistem riset
Bagaimana ekosistem riset kita, dan sejauh manakah pemerintah sudah memfasilitasinya? Tentu saja pemerintah sudah sangat serius mendorong dan memfasilitasi terbentuknya ekosistem riset yang bagus.
Pemerintah mengalokasikan dana dari APBN dan APBD untuk berbagai program riset. Tetapi, dibandingkan dengan negara-negara lain, kita ini bagaikan semut dibandingkan dengan gajah. Indonesia masuk kelompok G20, yaitu kelompok negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Namun, seberapa besar perhatian pada pendanaan riset? Dalam daftar 20 negara G-20, Korsel adalah negara yang paling memanjakan riset.
Dalam data yang dirilis Bank Dunia, berdasar PDB periode 2019-2021, Korsel mengalokasikan anggaran 4,93 persen dari PDB-nya untuk iptek. Disusul AS 3,46 persen, Jepang 3,30 persen, Jerman 3,14 persen, Inggris 2,91 persen, dan China 2,43 persen. Di peringkat paling bawah Indonesia 0,28 persen.
Jika kita membandingkan alokasi dana riset pada 2022 antara Indonesia yang hanya 0,28 persen PDB dengan AS yang 3,46 persen PDB, maka dengan PDB Indonesia dan AS masing-masing 1.319,1 miliar dollar AS dan 25.462,7 miliar dollar AS, maka perbandingan dana riset itu adalah 3,693 miliar dollar AS berbanding 881 miliar dollar AS.
Artinya, dana riset AS 285 kali dari dana riset Indonesia, sebuah perbandingan yang sangat timpang. Bahkan, dibandingkan dengan sesama negara ASEAN sekalipun, pemerintah Indonesia paling irit mengalokasikan dana untuk riset.
Singapura mengalokasikan 2,16 persen dari PDB, Thailand 1,33 persen, Malaysia 0,95 persen, Vietnam 0,43 persen, dan Filipina 0,32 persen. Indonesia negara terbesar di ASEAN, tetapi paling terbelakang dalam hal pendanaan riset.
Dalam kondisi keterbatasan alokasi pendanaan ini, pemerintah melakukan sejumlah kebijakan yang dianggapnya bisa mendorong kemajuan riset. Misalnya, merombak tata usaha kelembagaan riset, dengan melebur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjadi lembaga baru, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lembaga riset lain, seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, badan-badan litbang yang ada di berbagai instansi, juga dipaksa melebur ke dalam BRIN. Akibatnya, BRIN menjadi lembaga sentral dengan kewenangan super besar, tetapi memunculkan banyak masalah baru. Pimpinan BRIN maju terus dengan membentuk tujuh gugus tugas yang dinamakan Organisasi Riset (OR).
Sayangnya, proses integrasi ini penuh dengan gejolak, menghadapi banyak pertentangan dan kekacauan penanganan aset riset, seperti laboratorium dan peralatan.
Lembaga sentral seperti BRIN adalah puncak piramida dari bangunan besar kelembagaan riset negara, di mana fondasinya adalah lembaga pendidikan. Jika puncak piramidanya masih sibuk berjuang menata birokrasinya, ini kurang mendukung bagi terbentuknya ekosistem riset yang unggul.
Di level sekolah dan perguruan tinggi (PT), ada gejala mereka yang minat menekuni bidang eksakta semakin sedikit ketimbang bidang non-eksakta. Akibatnya, proporsi jumlah perekayasa (engineer/insinyur/sarjana teknik) dan penyandang profesi di bidang medis, mikrobiologi, dan bidang eksakta lain kian menurun jika dibandingkan yang non-eksakta.
Ada gambaran tentang proporsi profesi bidang eksakta ini. Data Persatuan Insinyur Indonesia menunjukkan, rasio jumlah insinyur Indonesia hanya 5.300 per sejuta penduduk (Kompas, 15/1/2024). Jauh lebih kecil ketimbang Vietnam 9.000 insinyur per sejuta penduduk, atau Korea Selatan 20.000 insinyur per sejuta penduduk.
Rasio jumlah periset juga memprihatinkan. Dalam Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045, disebut jumlah peneliti di Indonesia hanya 1.071 orang per sejuta penduduk. Sementara di Korsel 8.000 peneliti, Singapura 7.000 peneliti, dan Malaysia 2.590 peneliti per sejuta penduduk.
Salah satu indikator kemajuan negara adalah meningkatnya industrialisasi, yang artinya terjadi peningkatan proses pengolahan dari bahan mentah menjadi bahan jadi. Negara terbelakang hanya sanggup menjual bahan mentah, sementara negara maju mengolah bahan mentah menjadi produk jadi, baik berteknologi sederhana maupun berteknologi tinggi.
Proses industrialisasi ini membutuhkan peran para periset dan perekayasa. Semakin banyak SDM periset dan perekayasa, akan semakin menunjang industrialisasi.
Minimnya rasio jumlah perekayasa dan periset menjadi penghalang bagi upaya mempercepat industrialisasi di segala sektor. Karena itu, harus ada upaya untuk meningkatkan minat pelajar dan mahasiswa pada bidang sains dan eksakta.
Pendidikan adalah fondasi dan kelembagaan sentral adalah puncak dari struktur piramida riset dan inovasi. Jika ada pembenahan dari bawah sampai ke atas, diharapkan bisa mempercepat pencapaian iptek kita.
Capaian di iptek
Bukan berarti kita tidak mencapai kemajuan. Tentu kita syukuri kemajuan dalam banyak sektor iptek. Misalnya, di sektor medis, kita sudah lama bisa memproduksi vaksin, memproses kelahiran bayi tabung, dan sekarang dalam proses mengejar riset stem cell.
Di bidang maritim, kita sudah bisa memproduksi berbagai jenis kapal perang, termasuk yang terakhir memproduksi sendiri kapal selam. Di bidang kedirgantaraan, kita dalam proses kerja sama dengan Korsel mengembangkan pesawat tempur KF21 Boramae.
Kita sudah bisa merekayasa sendiri satelit, tetapi peluncurannya ke ruang angkasa masih harus menumpang ke roket milik negara lain, seperti AS, Perancis, China, India, atau menumpang ke roket swasta SpaceX milik Elon Musk, karena teknologi roket kita masih sangat ketinggalan zaman.
Akan tetapi, sederet pencapaian iptek kita ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Di bidang otomotif, puluhan tahun kita puas hanya sebagai konsumen produk impor, atau paling banter produk asing yang dirakit di dalam negeri. Puluhan tahun sejak era Soeharto berusaha, sampai hari ini kita belum sanggup menghasilkan mobil dan motor yang utuh produksi dalam negeri.
Di bidang pertanian malah lebih parah. Impor pangan kita terus meningkat. Apakah para insinyur pertanian kita tidak sanggup mengatasi hal ini, ataukah ini lebih karena kebijakan politik?
Masih ada sederet contoh ketertinggalan di sektor lainnya.
Jika mau diurai, ketertinggalan ini bukan karena ”tidak unggulnya” para periset dan inovator kita. Untuk teknologi yang relatif umum, seperti otomotif, bukan hal sulit untuk kita kerjakan. Berbagai produk otomotif sudah dikerjakan oleh ahli dan tenaga kerja kita, bahkan sudah diekspor.
Namun, sampai hari ini belum ada jenama otomotif lokal yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri walau secara teknis kita mampu memproduksinya. Situasi ini lebih disebabkan oleh kurang adanya kemauan politik pemerintah mendorong munculnya jenama produksi dalam negeri.
Ada contoh beberapa negara yang dulunya belum maju bisa menjadi maju karena ada situasi khusus yang menjadi pendorong. Sebut, misalnya, Korsel, yang punya motivasi kuat untuk balas dendam, bersaing dengan bekas penjajahnya, Jepang. Sekarang, Korsel adalah negara maju, eksportir untuk banyak produk berteknologi, mulai dari produk militer, elektronik, otomotif, musik, hingga film.
Iran, karena dikepung sanksi oleh Barat, memilih fokus mengejar teknologi pertahanannya hingga bisa swasembada memproduksi roket, rudal, satelit, drone, kapal perang, kendaraan militer, dan reaktor nuklir.
Sebenarnya Indonesia di era Bung Karno sudah memulai riset roket dan nuklir. Reaktor penelitian nuklir di Yogyakarta dan Bandung adalah warisan era Bung Karno. Tetapi, sampai hari ini pencapaian teknologi nuklir kita kalah jauh dari India, Pakistan, China, dan Iran.
Demikian juga teknologi roket untuk pertahanan, peluncuran satelit, dan riset angkasa luar, kita tertinggal jauh dari negara lain yang dulu setara.
Kemajuan iptek kita ditentukan oleh banyak faktor. Ada faktor pendidikan, kelembagaan riset, birokrasi, dan pendanaan. Siapa pun nanti yang jadi presiden, semoga berani mengambil kebijakan untuk mendorong kemajuan iptek dan memprioritaskan pengembangan produk bangsa sendiri, bukan sekadar memfasilitasi produk asing yang masuk ke sini.
Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur
Source: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/03/menyelami-visi-iptek-capres
Keywords: