Pemetaan Genomik Manusia Indonesia
Jika penguasaan teknologi genom semakin canggih, data pemetaan genom semakin lengkap, pola penyakit dapat dipetakan.
Modernisasi sistem kesehatan nasional terus bergerak maju. Belum lama ini Kementerian Kesehatan meluncurkan dimulainya program pengumpulan data genomik penduduk Indonesia.
Program yang dinamai Biomedical and Genome Science Initiative (BGSI) ini menargetkan pada 2024 akan terkumpul data 10.000 genom dan patogen yang berkaitan dengan penduduk Indonesia dan akan terus bertambah pada tahun-tahun selanjutnya.
Proyek ini melibatkan mitra swasta, perusahaan rintisan penyedia platform genetik, dengan tujuan menyediakan layanan pengobatan presisi. Jika penguasaan teknologi genom di Indonesia semakin canggih, data pemetaan genom semakin lengkap, pola penyakit dapat dipetakan, baik secara nasional maupun individual.
Program BGSI ini digalakkan untuk meneliti pengembangan pengobatan pada enam penyakit utama, yaitu penyakit kanker, penyakit menular, penyakit otak dan neurodegeneratif, penyakit metabolik, gangguan genetik, dan penuaan.
Program BGSI ini dilaksanakan di tujuh rumah sakit (RS), yaitu RS Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Pusat Otak Nasional Mahar Mardjono Jakarta, RSPI Sulianti Saroso Jakarta, RSUP Persahabatan Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, RSUP Sardjito Yogyakarta, dan RS Prof I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah Bali.
Dua tahun lalu, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman—kini sudah dibubarkan— juga sukses menggelar penelitian besar pemetaan DNA berbagai suku di seluruh Indonesia.
Hasil yang dilaporkan di Journal of Human Genetics menyimpulkan, semua suku di Indonesia sekarang ini merupakan hasil campur kawin silang antarsuku yang sudah berlangsung puluhan ribu tahun.
Secara biologis, tak ada seorang pun di Indonesia yang berdarah ”murni” satu suku saja. Inilah fakta Bhinneka Tunggal Ika dalam arti biologis yang diharapkan semakin menguatkan keindonesiaan kita. Sekarang, program pemetaan genom yang digagas Kemenkes ini bisa dikatakan sebagai penerus program pemetaan DNA, tetapi dengan tujuan yang lebih fokus, yaitu untuk kepentingan biomedis.
LBM Eijkman, sebelum dibubarkan, memiliki reputasi internasional, khususnya dalam hal penguasaan teknologi biologi molekuler. Pada 2021, saat pandemi Covid-19 masih merebak, lembaga ini berhasil mengambil sampel 1.000 sequence whole genome (SWG) virus SARS-CoV 2 dari pasien di Indonesia dan mengirimkannya ke pangkalan data Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).
Dari catatan ini, Indonesia bukanlah pemain baru di bidang biologi molekuler. Sayang, LBM Eijkman malah dibubarkan justru pada saat menunjukkan peran pentingnya.
Syukurlah, Kemenkes melanjutkan misi yang sudah dimulai LBM Eijkman ini dengan program pemetaan genom. Tersajinya data genom setiap orang akan membuat diagnosis penyakit menjadi lebih presisi sehingga dokter yang menangani bisa mengidentifikasi sumber penyakit dan mengobati secara lebih spesifik dan personal.
Dengan demikian, teknologi genom akan mendukung pengobatan presisi dan biaya pengobatan bisa kian ditekan. Arus berobat ke luar negeri bisa semakin berkurang karena pengobatan kita jadi jauh lebih maju dan berkualitas. Dana pengobatan bisa dialihkan untuk menguatkan kebijakan kesehatan pencegahan dan promotif.
Genom, penanda identitas individu
Genom adalah kumpulan gen yang menyimpan informasi genetik yang tersusun dalam bentuk pita molekul DNA (asam deoksiribonukleat) yang diperlukan untuk mengembangkan aktivitas setiap organisme.
Susunan gen setiap manusia berbeda satu sama lain dan ini bisa menjadi penanda identitas, seperti halnya sidik jari atau iris mata. Sejak lama sidik jari digunakan sebagai penanda khas identitas seseorang, khususnya dalam menyelidiki kasus kejahatan. Teknologi semakin berkembang hingga kemudian iris mata digunakan sebagai penanda khas seseorang pada teknologi face recognition.
Demikian juga dengan genom bisa digunakan sebagai penanda ciri fisik seseorang dengan hasil yang jauh lebih presisi. Kita mengenalnya lewat metode pemeriksaan DNA.
Setiap manusia memiliki sekitar tiga miliar nukleotida (pasangan basa) yang berada di 23 pasang kromosom di dalam inti semua sel tubuh manusia.
Setiap kromosom mengandung ratusan hingga ribuan gen yang membawa kode instruksi untuk membuat protein. Dengan informasi genetik ini, bisa dipelajari karakter biologis seseorang, seperti riwayat mutasi genetis dari orangtua atau nenek moyang, daya tahan dan kerentanan terhadap suatu penyakit, dan metode pengobatan apa yang paling tepat.
Keberagaman atau variasi genetik manusia sangat luas. Perbedaan variasi genetik setiap satu orang dengan yang lain dapat berdampak secara signifikan, terlihat dari gambaran fenotip atau bentuk fisik maupun molekuler dari sel-sel tubuhnya. Dampak dari variasi genetik ini bisa menguntungkan, bisa juga merugikan, dan bisa menguntungkan sekaligus merugikan pada saat yang bersamaan.
Sebagian besar orang Asia, dan khususnya orang Korea, memiliki variasi genetik pada gen ABCC11 pada kromosom ke 16. Gen ini berperan menentukan ada tidaknya bau badan. Mutasi genetik pada gen tersebut dapat menyebabkan orang Korea tidak memiliki bau badan dan secara umum hal ini dianggap menguntungkan.
Gen ABCC11 juga dapat menentukan tipe kotoran telinga seseorang, apakah sangat kering dan seperti bubuk, atau sangat lengket dan basah. Perbedaan genetik akan membuat setiap orang memiliki sifat khas atau keunikan yang tak sama dengan orang lain, bahkan sepasang anak kembar sekalipun.
Ada contoh lain mutasi genetik yang dapat merugikan, salah satunya yang disebut kromosom Philadelphia, yaitu ketika kromosom 9 dan 22 seseorang mengalami pertukaran tempat atau translokasi sehingga keduanya saling menempel di tempat yang tak semestinya. Hal ini berakibat individu tersebut cenderung mengalami leukemia kronis saat usia lanjut.
Fenomena kromosom Philadelphia ini pada 1960-an dijelaskan oleh Peter C Nowell dari University of Pennsylvania. Inilah awal terbukanya pengetahuan tentang pengaruh mutasi gen pada perkembangan penyakit kanker.
Variasi genetik bisa juga menguntungkan dan merugikan secara bersamaan. Salah satu contoh yang terkenal adalah warna kulit manusia yang ditentukan oleh jumlah melanin. Orang berkulit putih memiliki jumlah melanin lebih sedikit sehingga memudahkan sinar matahari masuk menembus kulit dan ini menguntungkan karena membantu terjadinya sintesis vitamin D3, yaitu vitamin D dalam bentuk aktif.
Namun, dalam waktu bersamaan, banyaknya paparan sinar matahari yang mengandung radiasi UV akan meningkatkan peluang terjadi kanker kulit.
Menuju kedokteran presisi
Jika pemetaan genetik ini bisa menjangkau semua warga, hal ini akan membuka pintu menuju apa yang disebut sebagai kedokteran presisi, yaitu pengembangan ilmu kedokteran dengan metode baru yang menggabungkan kemajuan bidang lain, seperti ilmu biologi molekuler, teknologi digital, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), psikososial, serta pemahaman terhadap lingkungan dan gaya hidup, untuk dikombinasikan dengan ilmu kedokteran medis.
Salah satu perkembangan kedokteran presisi bisa dilihat di pengobatan kanker payudara. Gen manusia yang diketahui berperan pada kanker payudara adalah breast cancer gene (BRCA) 1 dan 2 yang terletak pada kromosom 17 dan 13.
Terjadinya mutasi pada kedua gen ini akan memungkinkan kanker payudara jadi lebih ganas, sering kambuh, dan cenderung menyebar ke organ lain, seperti otak dan paru-paru. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pemeriksaan mutasi gen BRCA 1 dan 2 jadi hal yang rutin. Apabila seseorang memiliki mutasi gen tersebut, pengobatannya akan dilakukan dengan menyesuaikan kondisi individu pasien sehingga terapinya lebih presisi dan terpersonalisasi.
Artis Hollywood, Angelina Jolie, pada 2013 memutuskan melakukan mastektomi preventif bilateral (pengangkatan kedua payudara) sebagai tindakan pencegahan agar kanker payudaranya tidak semakin ganas. Sebelumnya, ibu kandungnya meninggal karena kanker payudara. Berdasarkan pemeriksaan gen, diketahui Jolie mengalami mutasi pada gen BRCA1.
Atas dasar ini, ia memutuskan pengangkatan kedua payudara guna mencegah kejadian lebih fatal. Ini contoh visioner pemanfaatan pemeriksaan genomik untuk kedokteran presisi.
Target pemeriksaan genetik adalah menghasilkan diagnosis, tindakan medis, dan pengobatan yang lebih tepat sasaran dan efisien secara personal, tak sama rata untuk semua pasien. Ini semacam kustomisasi layanan kesehatan, menjawab kelemahan bahwa ”apa yang cocok untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain”.
Praktik medis terus mengalami kemajuan dan kini sudah mengadopsi kemajuan yang didasarkan pada penerapan algoritma dan AI yang mempertimbangkan karakteristik pasien secara sangat individual.
Algoritma dan AI secara akurat dapat memetakan informasi DNA, genom, serta respons epigenetik terhadap perubahan lingkungan dan gaya hidup. Inilah yang nantinya akan membuat diagnosis menjadi lebih presisi sehingga tindakan medis dan pengobatannya juga menjadi semakin akurat, berbeda untuk setiap individu.
Bahkan, jika ada beberapa pasien dengan penyakit dan komorbid sama, pengobatannya bisa berbeda, tergantung hasil bacaan pemetaan genetiknya.
Melihat perkembangan ini, metode pengobatan presisi di kemudian hari nanti dapat diterapkan untuk beberapa jenis penyakit lain, seperti kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian global dan memiliki kaitan dengan faktor genetik yang signifikan. Metode pengobatan yang dipersonalisasi akan disesuaikan berdasarkan profil genomik, epigenomik, dan proteomik pasien.
Studi Pusat Kanker Fred Hutchinson di Seattle menemukan, ada lebih dari 100 faktor risiko genetik baru yang sangat terkait kanker kolorektal melalui analisis data biologis berskala besar, seperti genom, proteom, dan transkriptom.
Temuan ini berpotensi membuka jalan bagi skrining dan terapi pencegahan yang lebih efektif, memungkinkan dokter mengidentifikasi individu yang memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal ganas, penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati jika diketahui sejak dini.
Kemajuan dalam teknologi sekuensing genom yang semakin cepat dan terjangkau, bersama dengan perkembangan dalam teknologi penyimpanan data secara digital, memiliki dampak yang sangat luas. Ini memungkinkan pengumpulan miliaran data patofisiologi, DNA-genom, mikrobioma, riwayat penyakit, karakteristik personal, dan sebagainya, dalam format yang sangat efisien.
Penggunaan data genomik ini sudah dilakukan, misalnya, untuk mendiagnosis dan menangani diabetes melitus (DM) atau kencing manis. Beberapa rumah sakit besar, seperti RSCM, bekerja sama dengan Kemenkes, sudah melakukan rekrutmen, sampling, dan pemeriksaan klinis penelitian genomik DM.
Ditargetkan akhir 2023 bisa terkumpul data 1.000 pasien subyek target. Pengumpulan data ini nantinya akan bermuara, salah satunya, pada pharmacogenomic, pengembangan formula pengobatan yang didasarkan pada data genomik individual atau kelompok.
Proyek pemetaan genom manusia Indonesia ini merupakan proyek hulu pengumpulan data biologis yang sangat diperlukan menuju ke arah kedokteran presisi. Dan metode pengobatan presisi akan menurunkan biaya perawatan dan pengobatan penyakit kronis dan berat, seperti jantung, gagal ginjal, stroke, dan kanker, yang selama ini menjadi fokus utama pembiayaan BPJS.
Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur