Agenda Kesehatan 2023
Selain RUU Kesehatan yang kontroversial, ada agenda kesehatan 2023 yang lebih mendasar untuk diberi perhatian, yaitu pemerataan layanan kesehatan primer dan penanganan persoalan kronis. Juga masalah penyakit tak menular.
Mari kita tutup tahun 2022 ini dengan optimisme, semoga status pandemi Covid-19 bisa dicabut di tahun 2023.
Kita juga berharap, semoga kegaduhan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan bisa dicari solusinya. Belum lama ini muncul gelombang protes terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan yang merupakan inisiatif DPR tersebut.
Beberapa lembaga profesi kesehatan dan kedokteran, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (Patelki), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), menyuarakan kegelisahannya.
Iqbal Mochtar, pengurus PB IDI (”Kontroversi RUU Kesehatan”, Kompas, 18/11/2022), dan Sukman Tulus Putra, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (”Revisi UU Praktik Kedokteran antara Esensi dan Urgensi”, Kompas, 17/6/2022), memaparkan betapa kontroversialnya muatan RUU Kesehatan ini.
Di antaranya adalah prosesnya yang senyap, diam-diam tanpa sosialisasi, tanpa mendiskusikan dengan organisasi profesi kedokteran dan kesehatan, tahu-tahu drafnya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2023 DPR.
RUU ini cakupannya sangat beragam, banyak pasal yang tumpang tindih dan kontroversial. Salah satu yang disorot adalah besarnya kewenangan Kementerian Kesehatan sehingga dipandang melewati batas, dan di sisi lain memangkas peran dan kewenangan organisasi profesi kesehatan sehingga memarjinalkan peran masyarakat sipil.
Sementara Judilherry Justam, Wakil Ketua Dewan Penasihat Pengurus Besar IDI 2012-2015 (”Apakah RUU Kesehatan ’Sapu Jagat’ Harus Ditolak?”, Kompas, 7/12/2022), membantah tudingan bahwa tak satu pun organisasi profesi dan masyarakat dilibatkan. Juga diungkapkan, RUU Omnibus Law Kesehatan ini justru akan memperbaiki berbagai tumpang tindih, ketidakharmonisan, dan kekurangan berbagai perundang-undangan di bidang kedokteran dan kesehatan.
Semoga RUU Kesehatan ini tak senasib dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi setelah ada judicial review.
Tulisan ini tidak membahas hal di atas, tetapi mengajak untuk memikirkan agenda kesehatan 2023 yang lebih mendasar, yaitu mempercepat pemerataan layanan kesehatan primer. Banyak persoalan kronis yang belum bisa dituntaskan, seperti tingginya penderita tengkes, infeksi TBC, HIV, dan malaria.
Ditambah, penyakit tak menular seperti ginjal kronis, kencing manis, hipertensi, stroke, dan penyakit degeneratif. Semuanya itu menyedot biaya pengobatan yang sangat besar sehingga sangat membebani pemerintah dan rakyat. Perlu kebijakan afirmatif untuk mempercepat pemerataan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan primer.
Kesenjangan layanan kesehatan primer
Kita mengenal pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), bentuk layanan kesehatan primer yang menyebar di tiap kecamatan, yang didesain sebagai filter untuk mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit (RS) di kota/kabupaten.
Penyakit yang tergolong ringan seperti flu tanpa komplikasi pneumoni, misalnya, cukup diselesaikan di puskesmas, diberi obat generik yang murah, tak perlu ke RS yang biayanya mahal. Dokter yang baru lulus ditugaskan di puskesmas untuk menangani pasien ringan, sekalian menambah jam terbang dan keterampilannya. Ini adalah dasar dari kebijakan pemerataan layanan kesehatan yang cukup mendasar pada zaman Orde Baru.
Sampai 2021 terdapat 10.260 puskesmas di seluruh Indonesia, tetapi penyebaran dan kualitas layanannya masih timpang. Di DIY, satu kecamatan bisa memiliki lebih dari satu puskesmas, dengan gedung cukup bagus, dokter dan tenaga kesehatan memadai. Sementara di NTT atau Maluku Utara, ada puskesmas yang tidak memiliki dokter.
Berdasarkan data Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK) Kemenkes 2021, sebanyak 42,6 persen puskesmas di Papua belum memiliki dokter. Di Maluku angkanya 23,0 persen. Ini mengenaskan. Contoh kesenjangan lainnya adalah ketersediaan obat esensial di puskesmas.
Tahun 2021 angka nasionalnya sudah mencapai 92,3 persen, melebihi target Kemenkes 2020-2024 sebesar 90 persen. Namun, di Maluku angkanya masih di kisaran 63,4 persen. Bahkan, Banten yang sangat dekat dengan Jakarta ternyata baru mencapai 72,0 persen.
Keterbatasan puskesmas
Ada persoalan mendasar, yaitu terbatasnya kemampuan layanan puskesmas. Jika ada korban kecelakaan yang mengalami fraktur (retak atau patah tulang), penanganannya harus dengan rontgen untuk melihat posisi retak atau patah tulangnya, kemudian melakukan reposisi (mengembalikan atau meluruskan posisi tulang) sesuai indikasi.
Bisa dengan atau tanpa pemasangan pen dan diakhiri dengan pembalutan spalk/gips. Ini tak bisa dilakukan di puskesmas meskipun secara medis sebenarnya penanganan kasus fraktur ini termasuk sederhana dan relatif mudah.
Banyak tindakan sederhana lain yang belum bisa ditangani puskesmas, seperti penanganan penyakit tropik dan infeksi yang sederhana. Karena puskesmas tak mampu menyelesaikan kasus-kasus sederhana ini, semua dirujuk ke RS di kota/kabupaten hingga terjadi penumpukan. Ini terjadi selama puluhan tahun dan belum ada solusi memadai.
Laporan BPJS Kesehatan tahun 2018 mencatat, jumlah rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP, puskesmas) ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL, RS) pada 2017 mencapai 18.891.657 rujukan, dengan rasio 12,56 persen, rata-rata 1.574.305 rujukan/bulan. Tahun 2018 meningkat jadi 24.331.172 rujukan, dengan rasio 16,60 persen, dan rata-rata 2.027.598 rujukan/bulan. Ini melebihi standar 15 persen yang ditetapkan BPJS Kesehatan.
Menurut Ramadhani (Media Gizi Kesmas, 2020), kondisi overload rujukan ini karena belum optimalnya peran puskesmas dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga gerbang. Khususnya, untuk 144 penyakit yang merupakan kompetensi dokter umum yang harusnya dapat didiagnosis dan diselesaikan di puskesmas. Dari 144 penyakit itu, sekitar 24 persen masih dirujuk ke RS sehingga beban kerja dan pembiayaannya meningkat.
Mengapa puskesmas belum bisa menyelesaikan kasus-kasus medis sederhana? Pertama, ruangan yang distandarkan dan alat kesehatan (alkes)-nya belum tersedia. Sebagai contoh, data Provinsi NTB 2020 menunjukkan, baru 59,77 persen puskesmasnya memiliki alkes sesuai standar. Ini sebenarnya bukan masalah sulit. Dengan APBN 2023 sebesar Rp 3.061 triliun dan alokasi untuk sektor kesehatan Rp 169,8 triliun, bisa dimulai program peningkatan ketersediaan alkes dan ruang puskesmas secara bertahap.
Kedua, jika gedung dan alkes tersedia, harus tersedia dokter dan operator alkes yang mampu menanganinya, dan inilah persoalan seriusnya. Jumlah dokter masih terbatas. Saat ini ada 140.000 dokter yang masih harus diberi pelatihan secara kontinu agar mampu melaksanakan tindakan medis, yang saat ini masih dirangkap oleh dokter spesialis.
Dokter di puskesmas selama ini adalah dokter umum yang masih muda pengalamannya, yang diharapkan mampu menangani tindakan awal secara terbatas. Di luar batasan kemampuannya, dokter puskesmas akan merujuk pasiennya ke RS. Jika jarak dari puskesmas ke RS sangat jauh, atau harus menyeberang pulau, kondisi pasien bisa menjadi rentan. Biaya penanganan jadi mahal dan berisiko pada keselamatan pasien.
Jumlah dokter spesialis juga terbatas. Data Kemenkes menunjukkan, proporsi tenaga medis di Indonesia tahun 2021 terdiri dari 60,0 persen dokter umum dan 24,4 persen dokter spesialis.
Per 31 Desember 2021 ada 141.946 dokter umum dan 43.173 dokter spesialis yang tersebar di seluruh Indonesia. Itu pun dengan penyebaran yang tidak merata. Hanya 40,4 persen wilayah yang mempunyai dokter spesialis dasar yang terdiri dari spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, dan spesialis bedah.
Dengan kondisi ini, target untuk menempatkan lebih banyak dokter spesialis di setiap puskesmas adalah mimpi yang sangat sulit terealisasi. Sebab, pendidikan kedokteran kita belum sanggup mencetak dokter spesialis dalam jumlah besar dan dalam waktu yang cepat.
Andaipun bisa, ini juga bukan strategi yang efisien dan efektif. Jika sistem pendidikan kedokteran kita tetap seperti sekarang, pertambahan jumlah dokter spesialis setiap tahun tidak akan mampu mengejar kebutuhannya. Apalagi dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki ribuan pulau.
”Upgrade” puskesmas dan mencetak dokter spesialis
Sebenarnya ada solusi, dengan sedikit memodifikasi sistem yang sekarang berjalan serta terobosan untuk mengembangkan sistem pendidikan dokter spesialis, yaitu dengan memberikan upgrading atau tambahan pendidikan keterampilan bagi dokter puskesmas.
Untuk bisa melakukan operasi/tindakan medik ringan, hanya diperlukan tambahan pendidikan 12-24 bulan. Misalkan untuk bisa terampil melakukan operasi ringan penanganan patah tulang, mungkin memerlukan 6 sampai 12 bulan saja. Secara umum intinya hanya diperlukan tambahan pendidikan keterampilan maksimal dua tahun agar dokter puskesmas mampu melakukan operasi ringan dan penanganan kasus-kasus medis sederhana.
Setelah mendapat tambahan keterampilan ini, kualifikasinya meningkat, sebut saja misalnya dokter layanan primer. Dengan cara ini, tidak perlu lagi mendatangkan banyak dokter spesialis ke puskesmas, tetapi cukup menempatkan beberapa dokter umum yang sudah menjalani upgrading tadi.
Biaya untuk upgrading menjadi dokter layanan primer tak semahal biaya mencetak dokter spesialis sehingga program ini cukup realistis untuk dijalankan. Jika puskesmas bisa menangani kasus-kasus medis sederhana, ini akan mengurangi penumpukan dan antrean di RS.
Upgrading puskesmas beserta alkes dan SDM-nya akan sangat terasa manfaatnya di wilayah yang selama ini lebih tertinggal, seperti sebagian besar wilayah di Indonesia timur, di mana jarak antara puskesmas dan rumah sakit bisa sangat jauh serta kondisi transportasi juga belum ideal.
Berikutnya adalah soal percepatan mencetak dokter spesialis. Selama ini pendidikan dokter spesialis berbasis ke perguruan tinggi dan sekarang menghasilkan 2.000-3.000 dokter spesialis setiap tahun. Sepintas jumlahnya tampak banyak, tetapi sebenarnya distribusinya masih timpang.
Ada sekitar 60 persen daerah yang belum memiliki dokter spesialis dasar, seperti beberapa provinsi di wilayah timur. Untuk mengatasi hal ini, bisa dipercepat melalui terobosan model pendidikan hospital based atau community-based residency programs seperti yang sudah dilakukan beberapa negara lain seperti Amerika Serikat.
Model hospital based ini akan memperkuat model university based untuk mempercepat penambahan dokter spesialis dan memperbaiki kesenjangan distribusinya, karena lulusannya akan ditugaskan ke wilayah yang selama ini masih kekurangan dokter spesialis.
Pendidikan dokter spesialis model hospital based ini adalah program afirmatif. Diperlukan penyelarasan regulasi lintas kementerian agar lulusannya memiliki legalitas dan tidak terlalu jauh berbeda dengan lulusan dari model university based meskipun ada beberapa perbedaan dalam hal kelengkapan keterampilan dan inovasi.
Jika program ini berjalan, penumpukan pasien di RS bisa berkurang dan honor dokter puskesmas berpotensi naik. Selama ini dokter puskesmas hanya dibayar dengan standar BPJS, sementara dokter spesialis di RS dibayar dengan standar yang lebih tinggi. Jika dokter puskesmas sudah di-”upgrade” dan bisa menyelesaikan kasus medis sederhana di puskesmas, sudah sewajarnya jika honornya juga dinaikkan, sepadan dengan penambahan beban tugasnya.
Program afirmasi percepatan mencetak dokter spesialis dengan jalur hospital based yang mendampingi jalur university based akan mempercepat pemerataan layanan kesehatan primer di wilayah terdepan, tertinggal, dan terisolasi. Semoga transformasi kesehatan mampu meningkatkan ketahanan kesehatan Indonesia.
Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur
Source: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/12/13/agenda-kesehatan-2023
Keywords: