Bahaya Pemasaran Agresif Susu Formula
WHO dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) melaporkan banyaknya praktik buruk pemasaran susu formula yang melanggar standar internasional. Promosi yang didengungkan ke orangtua dan petugas kesehatan sering menyesatkan.
Peringatan telak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seharusnya membangunkan kita untuk sebisa mungkin menjauhkan bayi kita dari susu formula.
WHO secara mengejutkan mengeluarkan laporan berjudul How Marketing of Formula Milk Influences Our Decisions on Infant Feeding (Bagaimana Pemasaran Susu Formula Memengaruhi Keputusan Kita tentang Pemberian Makan Bayi). Laporan 32 halaman yang dipublikasikan 22 Februari di situs WHO ini intinya: pemasaran susu formula semakin tak terkendali dan bisa membahayakan kesehatan bayi secara global.
WHO dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) melaporkan banyaknya praktik buruk pemasaran susu formula yang melanggar standar internasional. Secara strategis ini menghambat pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi. Laporan bersumber dari sampel wawancara dengan 8.500 orangtua, perempuan hamil, dan 300 petugas kesehatan di delapan negara: Bangladesh, China, Meksiko, Maroko, Nigeria, Afrika Selatan, Inggris, dan Vietnam.
Meski Indonesia tak termasuk sampel, tetapi tetap perlu mengambil pelajaran serius dari laporan WHO ini. Ini mengingat pemasaran susu formula di sini tak kalah agresif. Lancet pada Agustus 2017 menegaskan, tak ada satu negara pun di dunia yang memenuhi standar yang direkomendasikan untuk investasi ekonomi dan implementasi kebijakan yang mendukung ibu untuk menyusui.
Laporan menyoroti pemasaran susu formula yang sebagian besar melanggar standar internasional terkait praktik pemberian makan bayi, antara lain teknik pemasaran industri susu formula dilakukan dengan cara menelepon pelanggan secara gencar dan invasif, membentuk jaringan tanya jawab interaktif, menyalurkan bantuan, promosi, serta pembagian hadiah. Bahkan, disebutkan lebih lanjut, memengaruhi pelatihan dan rekomendasi dokter dan petugas kesehatan.
Promosi yang gencar didengungkan ke orangtua dan petugas kesehatan sering kali menyesatkan, tak berdasarkan ilmiah. Ini melanggar The International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (Kode Internasional Tentang Pemasaran Pengganti ASI), perjanjian internasional yang disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia, 1981, untuk melindungi ibu dari tindakan agresif praktik pemasaran oleh industri makanan bayi.
Keterlibatan tenaga kesehatan
Jangkauan pemasaran ini sangat luas, yakni menjangkau 84 persen perempuan yang disurvei di Inggris Raya, 92 persen wanita di Vietnam, dan 97 persen wanita di China. Ini meningkatkan kemungkinan mereka membeli susu formula. Sebanyak 51 persen responden telah menjadi sasaran pemasaran perusahaan susu formula dan sebagian besar melanggar standar internasional praktik pemberian asupan makan bayi.
Melihat cakupan survei mulai dari negara maju seperti Inggris, negara berkembang seperti Vietnam hingga negara terbelakang seperti Bangladesh, survei ini bisa dikatakan mewakili situasi global. Karena itulah, peringatan WHO ini menjadi penting untuk kita perhatikan bersama, termasuk para pemangku kebijakan di Indonesia.
Dalam praktik pemasaran agresif ini, petugas kesehatan jadi ”ujung tombak” yang dapat melukai program ASI eksklusif. Saran petugas kesehatan inilah yang berpotensi memengaruhi orangtua untuk memilih susu dan makanan bagi bayinya.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut, laporan ini menunjukkan dengan jelas, pemasaran susu formula selama ini menyesatkan dan agresif. Karena itu, peraturan tentang pencegahan pemasaran susu formula yang eksploitatif harus segera diadopsi dan ditegakkan untuk melindungi kesehatan anak-anak.
WHO dan Unicef menyerukan kepada pemerintah, petugas kesehatan, dan industri makanan bayi untuk bersama-sama mengakhiri pemasaran susu formula yang eksploitatif dan sepenuhnya menerapkan serta mematuhi persyaratan. Langkah itu termasuk mengesahkan, memantau, dan menegakkan hukum untuk mencegah promosi susu formula hingga bisa mencapai kesepakatan yang sesuai Kode Internasional. Termasuk melarang klaim nutrisi dan kesehatan yang dibuat oleh industri susu formula.
Ulangan “The Baby Killer”
Agresifnya pemasaran susu formula hingga melanggar kode etik bukan barang baru. Hampir 50 tahun lalu, muncul publikasi ”The Baby Killer”, A War on Want Investigation into the promotion and sale of powdered baby milks in the third world, diterbitkan 1974 oleh War on Want, organisasi yang didirikan awal 1950-an yang mengampanyekan agar kemiskinan jadi isu sosial politik penting. Publikasi ini memaparkan betapa bahaya kesehatan bayi di dunia ketiga akibat gencarnya promosi susu formula yang mengesampingkan pemberian ASI.
Seperti peringatan WHO terbaru, publikasi ”The Baby Killer” ini sangat mengejutkan untuk zamannya. Industri susu formula yang umumnya konglomerasi di negara-negara Barat memberlakukan bayi di negara berkembang dan negara terbelakang seperti di negaranya sendiri, dengan membanjiri susu formula tanpa melihat ketidaksiapan perekonomian dan infrastruktur kesehatan, kemiskinan, dan perbedaan budaya.
Bayi-bayi di negara berkembang dan miskin menjadi sakit karena diberi susu formula seperti lazimnya di negara maju di Barat. Jika tidak sampai sakit fatal, bayi-bayi ini terperangkap ke dalam lingkaran setan malnutrisi serta penyakit yang akan membuat mereka terhambat secara fisik dan intelektual seumur hidupnya.
Penelitian saat itu menunjukkan, bayi di Chile yang diberi susu botol selama tiga bulan pertama kehidupan, memiliki angka kematian tiga kali lipat dibandingkan bayi yang hanya diberi ASI eksklusif. Hubungan antara pemberian susu formula sebagai pengganti ASI dan penyakit juga ditunjukkan pada beberapa penelitian di Jamaika, Jordania, India, dan komunitas Arab di Israel.
Ini juga terjadi di negara maju. Di Inggris, negara maju dengan standar hidup tinggi dan sebagian besar keluarga hidup dalam kondisi higienis yang baik, bayi masih menderita infeksi yang ditularkan melalui botol susu dan ini tercatat pada statistik rumah sakit.
Laporan ini sebenarnya bukan untuk membuktikan bahwa susu bayi membuat bayi jadi sakit. Dalam kondisi optimal, dengan persiapan dan kebersihan yang memadai, pada lingkungan yang bersih dan sehat, susu bayi bisa jadi makanan yang memadai. Namun, kondisi di sebagian besar negara miskin dan berkembang sangat berbeda dengan di negara maju.
Di negara-negara seperti ini, masyarakat berstandar hidup rendah, miskin, rumah tak layak, dan pada kondisi para ibu tak memiliki akses ke fasilitas kesehatan dasar seperti di negara maju. Dalam konteks demikian, susu bayi justru bisa berpotensi jadi pembunuh.
Sebenarnya penderitaan ini dapat dihindarkan dan solusinya melekat pada para ibu di dunia, yaitu dengan memberikan ASI pada bayinya. ASI adalah ”paket kelahiran” dari Tuhan yang tidak ada kembarannya. Keampuhan kualitas multinutrisinya super dan tak tertandingi. Dan terdapat limpahan kasih sayang dalam ASI. Memang ada sebagian sangat kecil ibu yang tidak dapat menyusui karena kondisi tertentu. Namun, secara umum, ASI terbukti secara medis sebagai makanan terbaik untuk bayi di bawah usia enam bulan.
Kini, semakin banyak ibu di negara miskin dan negara berkembang memutuskan mengganti ASI dengan susu formula selama beberapa bulan pertama kehidupan bayi mereka. Di antaranya karena rayuan manis promosi susu formula. Di tengah kondisi kemiskinan, minimnya infrastruktur kesehatan, dan malnutrisi, mengganti ASI dengan susu formula ini sering berpotensi jadi fatal.
Malnutrisi adalah bagian dari siklus kemiskinan dan infeksi. Kekurangan gizi dapat melemahkan kondisi anak dan membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi. Infeksi mudah terjadi dalam kondisi lingkungan yang jorok. Dalam konteks infeksi kronis, ini akan menghalangi usus (anak) menyerap nutrisi pada makanan, dan berujung pada malnutrisi berkelanjutan. Malnutrisi menyebabkan lemahnya anak, rentan penyakit, serta berisiko tengkes. Begitulah terus berulang lingkaran setan malnutrisi.
Mitos sesat ASI
Sejak lama beredar beberapa mitos menyesatkan, yang mungkin sengaja disebarkan, untuk mengaburkan keampuhan ASI dan menggantikannya dengan susu formula. Michele Griswold, konsultan Unicef, termasuk yang gigih meluruskan beberapa mitos ini.
Di antaranya, mitos bahwa banyak ibu yang tak mampu menghasilkan ASI yang cukup. Faktanya, hampir semua ibu dapat menghasilkan ASI yang cukup bagi bayinya. Juga mitos bahwa bayi yang disusui dengan ASI akan menjadi manja dan tak mau lepas dari ibunya. Manja dan lengket ke ibunya adalah karakteristik individual bayi, bukan akibat dari mengonsumsi ASI. Dan, bayi yang lengket ke ibunya adalah sesuatu yang alamiah, bukan hal yang buruk. Bukankah ibu adalah guru dan sekolah pertama kehidupan?
Ada lagi mitos bahwa apabila ibu menyusui dengan ASI-nya, maka bayinya tak akan bisa lagi diberikan susu formula. Griswold menjelaskan, susu formula tetap dapat diberikan pada saat-saat tertentu, termasuk pada masa menyusui. Sebagai asupan tambahan, bukan pokok.
Ada lagi mitos bahwa bayi yang disusui lebih dari satu tahun akan sangat sulit untuk disapih. Tak ada bukti yang mendukung hal ini. Sebaliknya, menyusui sampai dua tahun justru menguntungkan untuk ibu dan bayinya.
Fakultas Kedokteran di Johns Hopkins University menyebut ”Breast Milk is Best” dalam laman daring resminya. ASI adalah makanan terbaik untuk bayi karena mengandung nutrisi yang tepat untuk perkembangan sistem saluran pencernaan bayi dan kandungan nutrisinya menyehatkan.
Hal serupa diungkapkan WHO, Unicef, para dokter dan ahli kesehatan di seluruh dunia serta Kementerian Kesehatan RI pada laman resminya.
Dibandingkan susu formula, nutrisi pada ASI, termasuk karbohidrat dan proteinnya, lebih mudah diserap sistem pencernaan bayi. ASI juga memiliki kandungan nutrisi yang pas untuk perkembangan otak dan sistem saraf bayi. Beberapa riset menunjukkan, bayi yang diberi ASI memperoleh skor lebih baik saat tes kecerdasan pada saat usia mereka lebih besar.
Kandungan lemak dalam ASI juga bermanfaat untuk kesehatan mata bayi. ASI juga mengandung banyak zat anti-infeksi (seperti kolustrum dengan laktoferinnya dan sel imunitas yang menakjubkan) yang mampu mencegah infeksi ringan sampai berat, serta memiliki kandungan probiotik tinggi.
Bayi lahir prematur yang diberi ASI memiliki risiko infeksi atau radang saluran cerna yang lebih rendah. ASI juga dapat mencegah kematian mendadak pada bayi, asma, penyakit kulit alergi, diare, leukemia/kanker darah, penyakit kronis seperti diabetes dan obesitas.
Manfaat ASI bukan hanya untuk bayi, melainkan juga untuk ibunya. Ibu menyusui berpotensi menurunkan berat badan yang lebih cepat setelah melahirkan, dan risiko yang lebih rendah terhadap kanker indung telur dan payudara, serta diabetes.
Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim
Source: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/07/bahaya-pemasaran-agresif-susu-formula-2
Keywords: