Hybrid University-Hospital Based untuk Atasi Krisis Dokter Spesialis


MENUTUP tahun 2022, belum lama Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin membuat pernyataan menohok: kita mengalami krisis dokter spesialis. Jumlah dokter spesialis yang ada sangat tidak cukup untuk melayani kebutuhan nasional. Apalagi distribusinya juga tidak merata, masih terkonsentrasi pada kota-kota besar. Butuh ribuan dokter spesialis untuk didistribusikan ke kota-kota kecil, wilayah luar Jawa, dan daerah terpencil serta tertinggal. Kata Menkes, satu RSUD butuh setidaknya tujuh dokter spesialis. 

Menurut standar kelayakan WHO, untuk Indonesia dibutuhkan setidaknya seorang dokter untuk seribu penduduk, atau 1:1.000. Dengan penduduk sekitar 275 juta, Indonesia membutuhkan sekitar 275.000 dokter. Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Oktober 2022, ada 143.900 dokter umum yang memiliki surat tanda registrasi (STR) dan aktif berpraktik, atau baru sekitar 52% dari kebutuhan. Berarti, kita kekurangan sekitar 130.000 dokter atau 48% dari kebutuhan total yang layak (Herry Darwanto, ‘Mencukupi Kebutuhan Dokter’, kompas.com, 28/10). 

Adapun jumlah dokter spesialis yang memiliki STR dan aktif saat ini baru sekitar 44.700 dokter, dari 36 jenis spesialisasi dan penyebarannya terkonsentrasi di Jawa-Bali. Jumlah itu masih terlampau sedikit untuk memenuhi kebutuhan di seluruh RSUD yang tersebar di ratusan kota dan kabupaten. 

Ketimpangan distribusi tenaga kesehatan bisa dilihat dari data Profil Kesehatan Indonesia 2021 yang dikutip Herry, yang menyebut 63% dari total tenaga medis atau 173.700 orang berada di Jawa-Bali, dengan persebaran DKI Jakarta 24.200 orang, Jawa Timur 24.000 orang, dan Jawa Barat 23.600 orang. Provinsi dengan jumlah tenaga medis paling sedikit ialah Sulawesi Barat (485 orang), Kalimantan Utara (558 orang), dan Gorontalo (627 orang). Distribusi dokter yang tidak merata pun dapat disimpulkan dari data jumlah dokter per puskesmas yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan penduduk. 

Dari 10.292 puskesmas yang tersebar di seluruh kabupaten/kota (2021), 9,6% di antaranya masih belum memenuhi standar satu dokter untuk puskesmas nonrawat inap dan dua dokter untuk puskesmas rawat inap (Peraturan Menteri Kesehatan No 75 Tahun 2014). Bahkan, ada ratusan puskesmas yang tidak memiliki dokter. Papua adalah provinsi yang terparah, hampir 50% puskesmas di sana tidak memiliki dokter. Daerah lain yang serupa ialah Maluku, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Barat. 

Meskipun saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran, kecepatan produksi mencetak dokter dan dokter spesialis masih sangat kurang, tidak bisa mengejar kebutuhan yang terus meningkat pula. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Kemenkes mencanangkan program percepatan untuk mencetak dokter spesialis, di antaranya akan memberikan beasiswa bagi 2.500 dokter untuk pendidikan spesialis hingga upaya untuk membuat biaya pendidikan dokter spesialis menjadi lebih terjangkau. 

Yang menarik, Menkes mengatakan akan membuat terobosan pembaruan sistem demi mempercepat produksi dokter spesialis, dengan konsep pendidikan spesialis berbasis rumah sakit atau hospital based. Terlepas dari plus minusnya, rencana Menkes ini merupakan komplementer terhadap konsep university based yang sudah berjalan selama ini, dan terbukti tidak bisa menghasilkan dokter spesialis dalam jumlah besar dan cepat. Sementara kebutuhan di lapangan sudah sangat mendesak. 

Contohnya, saat ini pasien radioterapi kanker harus antre 6-12 bulan untuk mendapatkan penanganan. Risikonya, dalam rentang waktu antrean yang panjang itu penyakit pasien bisa semakin parah dan berpotensi meninggal dunia. Karena itulah, sangat diperlukan percepatan produksi dokter spesialis.   

 

Dokter spesialis berbasis universitas 

Selama ini, pendidikan spesialis kedokteran kita berbasis universitas atau university based, dan mendasarkan pada kurikulum yang disusun bersama oleh beberapa kolegium yang dibentuk oleh Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). MKKI ini mengepalai 38 kolegium ilmu kedokteran spesialistik dan merancang kurikulum yang nantinya disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 

Sebagian kecil materi pendidikan diberikan di ruang kuliah dan laboratorium, sedangkan sebagian besar berupa kerja praktik di rumah sakit (RS) milik pemerintah yang umumnya berupa RSUP, RSUD, dan belakangan ada beberapa RS akademik milik universitas. Gabungan antara materi di ruang kuliah dan praktik di RS yang besar dan lengkap, serta di bawah bimbingan dokter ahli senior, akan menghasilkan dokter spesialis yang mumpuni. 

Spesialis lulusan program ini sangat menguasai keahlian tertentu, misalnya spesialis bedah, spesialis ginjal, spesialis THT, spesialis obstetri dan ginekologi, dan sebagainya. Masing-masing sangat menguasai keahlian yang diambilnya, tetapi tidak menguasai keahlian jenis spesialisasi lainnya. Dokter spesialis THT, misalnya, tidak menguasai masalah kehamilan dan kelahiran, yang menjadi keahlian spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG). Demikian juga dokter spesialis jantung, tidak akan menangani problem berat kelahiran. Maka, spesialisasi ini lebih bersifat sektoral. 

Dari sisi kualitas, sejauh ini belum ada yang meragukan sistem pendidikan spesialis ini. Akan tetapi, masalahnya memang bukan pada kualitas, melainkan kuantitas. Sistem pendidikan spesialis ini tidak mampu memproduksi dokter spesialis dalam jumlah besar dan waktu yang cepat. Sistem berbasis universitas ini hanya mampu menghasilkan sekitar 2.000 dokter spesialis per tahun. Padahal, kebutuhan dokter spesialis kita sangat besar. Per Desember 2022 baru ada sekitar 54.000 dokter spesialis, sedangkan kebutuhannya sekitar 110.000. Ada gap sangat besar antara kebutuhan dan kemampuan produksi dokter spesialis. 

Sampai kapan pun, kita tidak akan bisa menutupi kekurangan dokter spesialis jika hanya menggunakan sistem pendidikan berbasis universitas ini. Apabila sistem ini dipaksa untuk menghasilkan dokter spesialis dalam jumlah besar dan waktu yang cepat, tentu akan kedodoran dan kualitasnya akan menurun. Dari sinilah maka disodorkan alternatif, yakni mencetak dokter spesialis dengan sistem berbasis RS atau hospital based.   

 

Mengadopsi program di AS 

Program pendidikan dokter spesialis berbasis RS, yang juga disebut residensi dokter spesialis berbasis komunitas, sebenarnya bukan ide yang baru. Setidaknya itu sudah dilakukan di Arizona dan California, Amerika Serikat (AS), sebelum 2013 dengan program hybrid yang membagi residensi berbasis universitas dan komunitas (community-based residency). 

Program berbasis komunitas ini bertujuan memenuhi target menghasilkan 33.000 dokter layanan primer pada 2035. 

Beberapa temuannya layak disimak. Misalnya, pada program residensi ilmu kesehatan anak (pediatri), angka kelulusan dalam ujian sertifikasi pada yang berbasis universitas sebesar 85%, sedangkan yang berbasis RS/komunitas hanya 79%. Angka gagal ujian dari residensi dokter bedah juga lebih rendah daripada yang berbasis komunitas. Singkatnya, kualifikasi dokter spesialis yang dihasilkan oleh program berbasis universitas tampaknya sedikit lebih bagus ketimbang yang berbasis RS/komunitas. 

Namun, di sisi lain, program pendidikan yang berbasis RS/komunitas juga memberi sisi positif, yakni pengalaman kerja yang lebih relevan dan paparan klinis yang lebih intens. Menurut studi, dalam residen pediatri di AS yang berbasis komunitas, jumlah pasien tertangani lebih tinggi daripada yang berbasis universitas. Jam terbang dan pengalaman klinis yang lebih tinggi itu sangat membantu dalam penanganan tindakan gawat darurat. 

Dari paparan di atas, menurut studi, secara garis besar tidak ada perbedaan yang mencolok dari hasil penerapan kedua model pendidikan spesialis tersebut. Pendidikan dokter di AS juga menambahkan kurikulum pendidikan untuk bekerja di daerah perdesaan dan terpencil. Harapannya, dokter spesialis komunitas ini dapat bekerja di daerah dengan minim fasilitas sehingga tertantang untuk bertindak inovatif mencari solusi.   

 

Spesialis berbasis RS/komunitas 

Program mencetak dokter spesialis berbasis RS bisa disebut sebagai program afirmasi dengan tujuan dapat mencetak dokter spesialis dalam jumlah besar dan cepat demi mengatasi kekurangan. Siswanya ialah dokter umum yang ditugaskan di puskesmas yang menyebar di berbagai pelosok. Sebagai dokter umum, pengetahuan dan keterampilannya tentu sangat umum dan belum memiliki keahlian yang lebih mendalam seperti pada dokter spesialis. 

Untuk memenuhi situasi mendesak yang sangat kekurangan dokter spesialis maka dokter umum di puskesmas ini diikutkan dalam program pendidikan, sebut saja ‘dokter spesialis komunitas’. Ini semacam upgrading untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pada spesialisasi yang dipilihnya guna disesuaikan dengan kebutuhan penugasan di komunitas. Jadi, dokter umum puskesmas akan ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya pada beberapa hal yang sering dibutuhkan, seperti kemampuan menangani pembedahan sederhana kasus patah tulang karena kasus kecelakaan, penyakit tropik dan infeksi sederhana, juga beberapa jenis penyakit lain yang tidak membutuhkan penanganan medis yang terlalu rumit. 

Meskipun misalnya nanti disebut ‘dokter spesialis komunitas’, bukan lantas berarti proses pendidikannya menjadi gampang. Proses pendidikannya tetap ketat, dengan mensyaratkan peserta didik harus lulus dan menguasai enam kompetensi utama di bidang spesialisasinya dengan baik. Enam kompetensi ini meliputi penguasaan spektrum pengetahuan yang luas tentang berbagai penyakit, terampil dan menguasai prosedur perawatan dan tindakan medis, dan selalu mengikuti prosedur ilmiah dalam kerangka kedokteran berbasis bukti. Di samping itu, terampil berkomunikasi dengan pasien, nakes, staf, dan pemangku kepentingan, serta menjaga sikap profesional dan menjunjung etika kedokteran. Yang terakhir, mampu berpikir kritis, inovatif, dan komprehensif atas berbagai problem yang dihadapi. 

Dengan penguasaan atas enam kompetensi utama itu, lulusan pendidikan spesialis berbasis RS ini, yang juga harus disertifikasi oleh kolegium, akan tetap terjaga kualifikasi dan kompetensinya. Maka, program pendidikan spesialisasi berbasis RS ini bisa menjadi komplementer atau saling melengkapi terhadap program yang berbasis universitas.

Lulusan program spesialisasi berbasis RS ini selanjutnya bisa ditugaskan untuk menguatkan puskesmas. Selama ini, puskesmas dikategorikan sebagai layanan kesehatan primer untuk tindakan medis level awal/sederhana, sedangkan RS dikategorikan sebagai layanan kesehatan lanjutan untuk menangani kasus medis level lanjut/berat. Dengan program pendidikan dokter spesialis berbasis RS/komunitas, kita akan menghasilkan dokter ‘dokter spesialis komunitas’ yang mampu menangani beberapa jenis tindakan medis ‘level menengah’. 

Jika dokter spesialis konvensional ditempatkan di RS tipe A dan B, sebaiknya ‘dokter spesialis komunitas’ ini ditempatkan di RS tipe B dan C serta di puskesmas, dan distribusinya cukup merata di seluruh wilayah. Maka, puskesmas akan terangkat levelnya, dari yang semula hanya bisa menangani tindakan medis level awal menjadi bisa menangani tindakan medis ‘level menengah’, dan akan mengurangi jumlah rujukan ke RS. Meningkatnya kemampuan puskesmas ini akan mengurangi panjangnya antrean pasien yang selama ini menumpuk di RS. Idealnya, hanya kasus medis level lanjut atau stadium berat yang ditangani oleh RS. Dengan demikian, rencana program afirmatif Menteri Kesehatan untuk mempercepat produksi dokter spesialis ini bisa dijalankan dengan menggunakan dua model secara bersama, yaitu university based dan hospital based. Semoga dengan hal itu bisa semakin memeratakan layanan kesehatan secara nasional.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur

 



Comments