Kontroversi Penyuntingan Genom pada Manusia


Kemajuan biologi molekuler membawa ilmu kedokteran menuju ke lompatan besar (”quantum leap”).

Kemajuan ilmu dan teknologi bagaikan pedang bermata dua. Bisa jadi berkah bagi umat manusia, tetapi bisa juga menjadi malapetaka.

Ini kisah tentang eksperimen rahasia di China yang sudah membuat geger kalangan medis dan berujung perisetnya dipenjara. Pada 2018, He Jiankui, associate professor di Southern University of Science and Technology di Shenzhen, melakukan percobaan menyunting gen atau DNA pada embrio yang dikandung seorang perempuan yang suaminya mengidap penyakit HIV.

Dengan teknologi clustered regularly interspaced short palindromic repeats-associated protein 9 (CRISPR-Cas9), He menyunting gen pengode CCR5 yang merupakan reseptor atau jalan masuk virus HIV ke dalam sel tubuh manusia.

Tujuannya, agar nanti setelah lahir, bayinya jadi kebal terhadap virus HIV. Setelah diedit, gen embrio itu dikembalikan ke rahim perempuan tersebut. Dan, kemudian lahirlah sepasang bayi kembar yang diberi nama Lula dan Nana pada Oktober 2018.

Riset eksperimen penyuntingan gen ini tujuannya baik, yakni agar si bayi nantinya menjadi resisten atau tak tertular virus HIV. Meski tujuannya baik, mengubah gen pada tubuh manusia hingga saat ini masih sangat kontroversial, dianggap melanggar hukum.

Eksperimen He yang dilakukan secara diam-diam tanpa publikasi ini kemudian terbongkar saat jurnal MIT Technology Review di Amerika Serikat edisi 25 November 2018 mengungkap kisahnya. Akibatnya, muncul banyak kecaman dari kalangan medis dan profesi terkait di sejumlah negara yang menganggap percobaan He ini melanggar konvensi keamanan, bioetik penelitian, dan mengancam keselamatan kedua bayi.

Setelah didesak banyak pihak, He akhirnya mengklarifikasi riset percobaannya itu pada forum Konferensi Tingkat Tinggi Internasional Kedua tentang Penyuntingan Genom, 28 November 2018. Otoritas setempat kemudian melakukan penyelidikan pada kasus ini. Satu tahun kemudian, He dinyatakan bersalah atas pemalsuan dokumen dan melakukan eksperimen tidak etis. Ia dihukum 3 tahun penjara dan denda 3 juta yuan (sekitar Rp 6 miliar).

Pada April 2022, He sudah bebas dari penjara, tetapi dia bersama anggota timnya dilarang bekerja di klinik reproduksi. Namun, pada Februari 2023, He mengumumkan pembukaan lab miliknya sendiri di Beijing yang fokus pada terapi gen konvensional untuk pengobatan penyakit genetik langka.

Saat diminta pendapat terkait kasus eksperimen yang membuatnya dipenjara, He meyakini dirinya saat itu bergerak terlalu cepat. Dari kasus ini kita bisa melihat, meski peluang manfaatnya sangat besar untuk dunia medis, kemajuan teknologi penyuntingan gen juga sarat dengan kontroversi etis.

kontroversi-penyuntingan-genom-pada-manusia-prof-djoko-santoso.jpg

 

Revolusi penyuntingan genom

Kemajuan biologi molekuler membawa ilmu kedokteran menuju ke lompatan besar (quantum leap). Biologi molekuler membawa terobosan teknologi di bidang perbaikan gen, teknologi RNA, dan terapi sel punca (stem cell), yang membawa angin segar pada penanganan penyakit manusia.

Lompatan ini terutama karena kemajuan teknologi penyuntingan gen dengan metode CRISPR-Cas9 yang bisa mengoreksi kesalahan genetis atau mengedit DNA dengan presisi.

Proses penyuntingan DNA ini akan membawa terobosan luar biasa dalam menangani/mencegah penyakit manusia, seperti penyakit genetik, kanker, autoimun, dan penyakit lain. Namun, kemudian muncul kontroversi etika yang pelik.

Kemajuan ini disambut gembira kalangan medis, tetapi sekaligus juga memunculkan kecemasan besar. Sebab, persoalan bioetis akan membatasi teknologi ini untuk sampai ke tahap percobaan pada manusia dan selanjutnya ke tahap uji klinis.

Seperti dikatakan Glenn Cohen, Direktur Fakultas Pusat Kebijakan Hukum Kesehatan, Bioteknologi, dan Bioetika, Petrie-Flom di Harvard Law School, penyuntingan gen memiliki banyak variasi dan konsekuensi beragam. Lebih detailnya, mengubah gen tertentu pada lokasi tertentu bisa mengakibatkan berubahnya gen pada lokasi yang lain. Jadi, meskipun bisa memperbaiki gen yang disunting, gen yang lain bisa ikut berubah dan bisa berdampak, misal organ lain jadi cacat.

Di sinilah perlu diskusi etis yang mendalam yang melibatkan lintas ahli dan mempertimbangkan berbagai perbedaan pendapat yang muncul.

Secara garis besar, fokus pembahasan penyuntingan genom manusia saat ini mencakup dua hal, penyuntingan untuk penanganan somatik (obyeknya sel darah merah) dan penyuntingan germline (obyeknya sperma).

Pada penyuntingan DNA somatik, yang diedit hanya sebagian sel pasien (manusia yang sudah lahir, berapa pun usianya) dengan target memengaruhi atau memperbaiki kondisi fisik pasien. Pasien yang mengidap penyakit tertentu, dengan diedit DNA-nya, diharapkan penyakitnya bisa teratasi.

Penyuntingan genom somatik sangat berbeda dengan penyuntingan genom germline. Terapi gen somatik melibatkan modifikasi DNA pasien untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit yang disebabkan mutasi genetik. Misal, uji klinis dalam kasus pasien mengalami kerusakan sel darah.

Para ahli mengambil sel induk darah pasien dan menggunakan teknik pengeditan CRISPR untuk memperbaiki mutasi genetik yang menyebabkan sel pasien menghasilkan sel darah yang rusak.

Kemudian, sel darah yang sudah ”dikoreksi” ini dimasukkan kembali ke tubuh pasien sehingga bisa menghasilkan hemoglobin (komponen utama sel darah merah) yang sehat. Metode ini mengubah sel darah pasien (manusia yang sudah lahir), tetapi tak mengubah sperma atau sel telur (yang belum lahir jadi manusia).

Sementara pada penyuntingan germline, yang disunting sperma. Sperma, setelah membuahi sel telur, akan jadi embrio atau janin dan selanjutnya lahir sebagai bayi manusia. Jadi, menyunting germline adalah mengedit DNA calon janin, yang belum lahir jadi bayi manusia.

Artinya, mengubah total calon janin, dan akan memengaruhi seluruh sel jika nantinya lahir menjadi manusia. Dan, selanjutnya akan memengaruhi generasi atau anak keturunannya kemudian, yang sangat sulit diprediksi apa akibatnya.

Gambaran ekstrem yang negatif, penyuntingan DNA sperma bisa direkayasa untuk membuat manusia superkuat, cerdas, tahan berbagai penyakit, kejam, tak punya perasaan kasihan, sehingga bisa jadi tentara superkuat sekaligus cerdas, sadis tidak berperikemanusiaan.

Gambaran semacam ini sudah banyak muncul di film Hollywood. Penyuntingan genom sperma bisa diartikan sebagai upaya menciptakan manusia baru sejak dari sperma. Inilah yang oleh banyak kalangan dianggap sangat melewati batas etika medis karena melawan kehendak ilahiah. Di sinilah muncul perdebatan soal etika. Karena alasan ini dan juga alasan lain, kalangan medis menyikapi pengembangan metode penyuntingan genom germline dengan sangat hati-hati.

Dalam hal ini, beberapa negara maju memiliki kebijakan dan peraturan yang sangat ketat dalam mengatur pengembangan metode penyuntingan genom germline pada manusia. Di AS, prosedur ini secara efektif dilarang lewat UU yang melarang Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) menyetujui penelitian seperti itu.

 

Kontroversi etika pengeditan genom

Namun, ada juga sejumlah kalangan yang mengajukan pertanyaan: jika manfaat untuk kesehatan manusia diyakini lebih besar daripada risikonya, dan bahayanya bisa dihindari, apakah kita harus mempertimbangkan untuk menghentikan, atau boleh melanjutkan riset penyuntingan genom germline? Jika jawabannya ya, bagaimana peneliti bisa melakukannya secara etis dan bertanggung jawab?

Pelopor CRISPR Feng Zhang dari Broad Institute of Harvard dan MIT menanggapi kasus eksperimen He yang mengedit genom dua manusia dengan menyerukan agar ada moratorium penanaman embrio yang telah diedit pada manusia. Alasannya, perlu waktu untuk mencari tahu dan mempertimbangkan secara mendalam dan hati-hati, apakah kita ingin melanjutkan riset genom ini, seberapa besar manfaat dibandingkan dengan risikonya.

Jika kita memilih untuk melanjutkan pengembangan metode ini, pertama-tama kita perlu memiliki pedoman sehingga para ahli nantinya dapat melakukan pekerjaan ini dengan bertanggung jawab, dengan pengawasan yang ketat dan kendali mutu yang tepat.

Banyak kalangan medis, kedokteran, dan hukum yang melihat kasus dipenjarakannya He sebagai momentum untuk segera mendiskusikan peta jalan dan masa depan terapi gen, termasuk dampaknya ke generasi selanjutnya. Dalam jangka pendek, otoritas kesehatan perlu memantau perkembangan anak kembar hasil eksperimen He, sesuai saran para ilmuwan.

Bahkan, ahli bioetika senior China meminta pemerintahnya membuat program penelitian tentang analisis genetik dalam rangka menentukan apakah tubuh mereka mengandung kesalahan genetik yang bisa diturunkan ke generasi mendatang. Menyadari itu, ini saatnya bersama merumuskan landasan etiknya dengan melibatkan kerja sama global di bidang sains dan pengawasannya.

Selain risiko keamanan dan keselamatan pasien, metode penyuntingan genom manusia juga menimbulkan beberapa pertanyaan etis yang mendasar.

Misalnya, pada kasus keluarga yang memiliki anak penderita penyakit genetik dengan risiko cacat atau kematian. Maka, teknologi penyuntingan genom ini akan menjadi dewa penolong karena bisa memotong atau mengoreksi gen yang bermasalah guna mencegah terjadinya mutasi yang buruk.

Bagi keluarga yang mengalami masalah genetik, teknologi ini dewa penolong untuk bisa selamat dan bangkit kembali dari penyakit genetis mematikan. Namun, sampai di manakah batas yang masih dibolehkan karena teknologi ini bisa mengobrak-abrik cetak biru kehidupan manusia, sejak masih menjadi sperma?

Namun, ada juga pendapat yang menekankan bahwa mutasi buruk, kecacatan, dan kerentanan terhadap penyakit juga disebabkan pengaruh lingkungan eksternal manusia.

Direktur Pusat Bioetika di Harvard Medical School Robert Truog menjelaskan, evolusi berkembang melalui mutasi acak pada genom. Mutasi acak ini sering kali menimbulkan masalah serius, seperti cacat atau kerentanan pada penyakit tertentu. Selain itu, kemajuan peradaban juga menjadikan lingkungan kita terpapar pada banyak bahan kimia, dan inilah yang menyebabkan perubahan yang tidak diketahui pada genom manusia.

Jika ingin mencari terapi yang tepat untuk menyembuhkan penyakit, kita juga harus memperhatikan faktor eksternal, seperti lingkungan.

Teknologi penyuntingan gen germline, dalam jangka panjang, hampir pasti akan sangat bermanfaat. Untuk penyuntingan somatis, terapi pada manusia yang sudah lahir, sejauh ini mayoritas ahli mendukungnya.

Meski demikian, untuk sampai tahap mengubah embrio dengan penyuntingan germline masih butuh waktu lama untuk berdiskusi dan menyepakati, sampai di mana batasnya, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, dengan tetap menghormati norma agama. Semoga nanti ilmuwan medis Indonesia juga bisa ikut berperan dalam kemajuan teknologi penyuntingan gen ini dengan penuh tanggung jawab dan beretika.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Kepala Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 



Comments