Membandingkan Singapura, Malaysia, dan Indonesia

Berkaca dari negara sahabat, kita bisa memacu untuk mengejar kemajuan. Badan yang sehat jasmani-rohani, pendidikan yang berkualitas, dan keunggulan iptek akan menjadi pendorong kemajuan.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia termasuk negara bekas jajahan yang paling awal meraih kemerdekaan.
Proklamasi 17 Agustus 1945 hanya tiga hari setelah Jepang menyerah kepada AS. Belanda masih belum ikhlas dan melancarkan agresi militer, baru 19 Desember 1949 mau mengakui kedaulatan RI.
Sementara Malaysia baru diberi kemerdekaan oleh Inggris, bukan merebut, pada 31 Agustus 1957 atau 12 tahun setelah kita merdeka. Singapura sebelumnya juga koloni Inggris, pada 1963 bergabung dengan Federasi Malaysia, tetapi pada 9 Agustus 1965 memisahkan diri menjadi negara merdeka.
Dari tiga negara serumpun ini, Indonesia bisa dibilang paling tua. Hanya kalah cepat dua hari dari Korea, sesama bekas jajahan Jepang yang langsung merdeka 15 Agustus 1945 begitu Jepang kalah perang.
Dulu banyak tenaga ahli dari Indonesia diminta datang ke Malaysia untuk mengajari banyak hal kepada saudaranya yang baru merdeka ini. Guru-guru kita banyak yang mengajar di berbagai sekolah di Malaysia. Demikian juga, banyak pelajar dan mahasiswa Malaysia yang dikirim ke Indonesia.
Akan tetapi, itu dulu, dan sejarah berkembang begitu dinamisnya. Sekarang, kemajuan dan kemakmuran ketiga negara ini sangat jauh berbeda. Singapura jauh lebih maju dan makmur, disusul Malaysia, sedangkan Indonesia menempati paling bawah. Juga dibandingkan dengan Korea Selatan, kita tertinggal jauh. Berdasarkan data Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) per kapita 2021 Singapura 72.794 dollar AS, Korsel 34.757 dollar AS, Malaysia 11.271 dollar AS, dan Indonesia 4.292 dollar AS.
Salah satu tolok ukur global untuk mengukur pencapaian ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP, badan di bawah PBB, 1990. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara pada tiga aspek dasar pembangunan manusia: kesehatan dan usia harapan hidup warganya, tingkat pendidikan, dan standar hidup yang layak.
Untuk 2021, Norwegia menempati posisi teratas dengan angka IPM 0,957, disusul Irlandia (0,955), dan Swiss (0,955). Singapura peringkat ke-11 (0,938), Korsel ke-23 (0,916), Malaysia ke-64 (0,810), dan Indonesia ke-109 (0,718).
Ada parameter lain. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) meneliti dan membandingkan kemampuan pelajar berusia 15 tahun dalam menguasai pelajaran Matematika, sains, dan membaca terhadap sekitar 80 negara di dunia. Kemudian disusun peringkat Program for International Student Assessment (PISA).
Hasilnya, untuk 2018, China di peringkat teratas, disusul Singapura (2), Makao (3), dan Hong Kong (4). Sementara Jepang (6), Korsel (7), Malaysia (48), Thailand (60), dan Indonesia (71).
Maju karena unggul SDM
Mengapa Singapura bisa sedemikian maju? Jawaban paling gampang, Singapura negara kecil dan jumlah warganya sedikit. Populasi 2021 hanya sekitar 5,9 juta. Bandingkan dengan Malaysia sekitar 33,9 juta dan Indonesia sekitar 275,5 juta. Luas Singapura hanya 782,6 kilometer persegi (km2), hanya sedikit lebih luas dari DKI Jakarta yang sekitar 661,5 km2.
Jika dibandingkan dengan Indonesia yang luasnya sekitar 1,9 juta km2, Singapura seolah hanya noktah kecil. Mengurus negara yang sangat kecil dengan jumlah rakyat sedikit pasti jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengurus Indonesia yang sangat luas dan jumlah rakyatnya nomor empat paling banyak sedunia.
Jawaban ini sepintas terdengar logis, tetapi terlampau menyerderhanakan persoalan, seolah menafikan strategi dan pelaksanaan pembangunan Pemerintah Singapura.
Singapura maju, terutama karena bisa membangun SDM unggul, kreatif-inovatif, kerja keras, hukum ditegakkan, dan bersih dari korupsi. Dalam rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia di Bali, 2018, PM Singapura Lee Hsien Loong menjelaskan bagaimana Singapura bisa maju. Cerita Om Lee, dulu, PM pertama Lee Kuan Yew, yang juga ayahnya, membangun negerinya diawali dengan kondisi serba buruk.
Singapura dulu awalnya memiliki sistem pendidikan yang buruk, perumahan buruk, kesehatan warga buruk. Saat itu, merebak epidemi kolera dan TBC serta angka kelahiran tinggi pada era yang dulu disebut Baby Boom. Maka, Lee senior menetapkan prioritas pertamanya adalah menggenjot masalah kesehatan dan pendidikan.
Dimulailah program kesehatan, seperti keluarga berencana (KB) untuk mengendalikan tingginya angka kelahiran, pembangunan perumahan secara massal, dan menggenjot layanan kesehatan, mulai dari memperbanyak pipa air bersih hingga menambah jumlah klinik kesehatan ibu dan anak agar vaksinasi atau imunisasi bisa segera dijalankan.
Pemerintah Singapura segera menggelontorkan subsidi pada sektor pendidikan dan kesehatan, tetapi tak sepenuhnya menggratiskan. Pemerintah tetap mengenakan biaya untuk penebusan obat. Kata Lee, pasien suka malas minum obat jika obatnya digratiskan. Jika membayar, pasien akan meminum obatnya secara serius.
Pemerintah Singapura mempertahankan kebijakan ini dalam waktu cukup lama dan secara bertahap disusul dengan kebijakan baru, yaitu membuat skema tabungan kesehatan wajib. Sekitar 6-8 persen penghasilan warga negara wajib masuk ke rekening tabungan medis pribadi. Ketika warga jatuh sakit, uang tabungan medis inilah yang akan membantu membiayai kesehatan mereka.
Cara ini pula yang sekian tahun kemudian mulai disiapkan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang akhir jabatannya dan dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo dengan melahirkan program asuransi kesehatan BPJS. Meski kacau dan babak belur di awal, perlahan bisa berbenah dan sangat membantu pembiayaan pengobatan secara nasional.
Di bidang kesehatan, Pemerintah Singapura serius membangun dan menjaga kualitas layanan kesehatan sehingga sampai sekarang berbondong orang berobat ke sana. Perawatan di rumah sakit (RS) itu penting, terutama bagi yang sudah jatuh sakit berat/kritis dan memerlukan perawatan intensif.
Namun, tak semua perawatan harus dilakukan di RS. Ada yang bisa dilakukan di rumah saja untuk melakukan rawat jalan atau menjaga agar tetap fit dan bisa beraktivitas. Inilah yang disebut step down care, suatu model layanan perawatan bertahap, di mana perawatan RS dihubungkan secara rujukan dengan perawatan di RS komunitas, panti jompo, dan perawatan mandiri di rumah.
Model ini terutama untuk mengakomodasi populasi geriatri (usia di atas 60 tahun) yang berpotensi memerlukan perawatan jangka panjang, juga untuk kelompok yang sakit tertentu, seperti pasca-stroke. RS tak akan mampu melakukan segalanya, bahkan bisa menghadapi krisis tempat tidur ketika jumlah pasien melonjak jauh lebih cepat dari laju pertumbuhan tempat tidur RS. Dengan step down care, Pemerintah Singapura bisa memenuhi perawatan kesehatan berkualitas untuk rakyatnya.
Di sektor pendidikan, Pemerintah Singapura membangun sistem pendidikan dari awal yang buruk, tak lebih baik daripada kondisi Indonesia pada periode awal kemerdekaan. Namun, kini, Singapura dikenal sebagai negara yang kualitas sistem pendidikannya termasuk papan atas di tingkat dunia.
Setelah sukses membenahi pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, kini target Singapura adalah meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini. Ini yang dilakukan untuk mencetak SDM unggul berdaya saing tinggi, yang mengantarnya menjadi negara maju.
Iptek dan pertumbuhan
Singapura konsisten menjalankan program yang terencana jangka panjang. Jika dintisarikan, Singapura melewati lima tahapan pembangunan dengan fokus berbeda. Pada dekade 1960-an, perekonomian masih berlandaskan tenaga kerja rendahan karena memprioritaskan terbukanya lapangan kerja. PDB per kapita periode itu sekitar 1.300 dollar AS per tahun.
Pada dekade 1970-an, perekonomiannya didasarkan pada tenaga kerja terampil dan ahli, dan dekade 1980-an dilandaskan pada modal karena Singapura sudah mulai kaya. Dekade 1990-an dilandaskan pada pencapaian teknologi, dan dekade 2000-an pada teknologi yang lebih maju dan inovasi.
Ini yang membuat Singapura pada 2019 menempati posisi teratas dari 141 negara dalam Indeks Daya Saing Global 4.0 (Indonesia ke-50). Pada dekade 1990-an hingga 2000-an inilah ekonomi Singapura melesat sehingga pada 2021 PDB per kapita sudah lebih dari 70.000 dollar AS. Kemajuan pencapaian iptek mendorong ekonomi tumbuh jauh lebih pesat.
Memang ada harga yang harus dibayar rakyat Singapura demi mencapai kemajuan dan kemakmuran. Rakyat tak bisa menyatakan pendapat sebebas seperti rakyat Indonesia. Politik, pers, dan demokrasi di Singapura tak sebebas di Indonesia. Sejak memperoleh kemerdekaan 1957, Singapura selalu diperintah Partai Aksi Rakyat, tanpa pernah ada pergantian kekuasaan. Akan tetapi, dengan segala batasan kebebasan itu, ekonomi dan kemakmuran Singapura melaju kencang, jauh meninggalkan negara tetangga yang lebih demokratis.
Ini berbeda dengan Korea yang sejak awal setelah terbebas dari penjajahan Jepang sudah terpecah jadi Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan semangat membalas dendam pada bekas penjajahnya, Korsel bekerja keras hingga mampu bersaing dengan Jepang. Sekarang Korsel bisa dikatakan hampir sejajar dengan Jepang dalam hal kemajuan teknologi dan kemakmuran. Bahkan, dalam hal penetrasi budaya, Korsel lebih sukses. Drama Korea dan musik Korea sukses penetrasi ke seluruh dunia.
Padahal, situasi di Korsel penuh gejolak politik, kudeta, perlawanan oposisi mahasiswa, represi militer, sampai pembunuhan presiden. Empat bekas presiden terlibat korupsi, diadili dan dipenjara. Mereka adalah Chun Doo-hwan, Roh Tae-woo, Roh Moo-hyun, dan Park Geun-hye (putri mantan Presiden Park Chung-hee yang tewas ditembak oleh kepala badan intelijen Korsel, 1979).
Namun, hebatnya, dengan segala gejolak itu, Korsel mampu meraih kemajuan dan kemakmuran. Bermunculan raksasa chaebol, seperti Hyundai, Daewoo, Samsung, dan LG, yang merangsek ke banyak negara di dunia. Drakor dan grup musik Korsel sekarang jadi idola anak milenial dan emak-emak di berbagai belahan dunia.
Baik Singapura yang politiknya kaku monoton maupun Korsel yang penuh gejolak bisa maju karena menomorsatukan pembangunan SDM unggul dengan pendidikan yang berkualitas hingga menguasai teknologi, bukan dengan mengeksploitasi kekayaan alam. Berkaca dari situ, kita bisa memacu untuk mengejar kemajuan. Pangkal kemajuan dimulai dari badan yang sehat jasmani-rohani, pendidikan berkualitas, dan kemajuan iptek.
Pendidikan tinggi dan lembaga riset harus berbenah membangun budaya inovasi yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara berlipat hingga penuh manfaat untuk rakyat, bukan sekadar menikmati kemapanan budaya birokrasi. Di sisi lain, para ahli pendidikan harus diajak merancang konsep pendidikan karakter kebangsaan melalui pengembangan kurikulum sesuai abad ke-21 sehingga nantinya bukan hanya menghasilkan alumnus yang brilian lengkap dengan keahlian teknologi modernnya, melainkan juga berkarakter, berakhlak, dan tidak gampang korup.
Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jatim
Source: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/19/membandingkan-singapura-malaysia-dan-indonesia
Keywords: