Menuju Generasi Berkualitas 2045


Bonus demografi menjadi modal penting Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. Namun, ancaman perubahan iklim, juga problem geopolitik, perlu mendapat perhatian agar cita-cita menjadi negara maju dapat terwujud.

Bulan Agustus ini kembali kita memperingati kemerdekaan negara kita yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tahun 1945. Apa yang sudah kita capai dalam usia yang ke-78 ini?

Sederet data bisa kita beberkan, baik yang sudah maupun yang belum bisa kita capai. Biasanya, pada poin yang masih gagal atau belum berhasil, kita akan memakluminya dengan kalimat, ”akan kita jadikan pelajaran”.Namun, ada yang tidak kalah penting dibandingkan dengan menilai apa yang sudah terjadi, yaitu apa yang hendak kita targetkan pada usia ke-100 nanti?

Narasi optimistis selalu muncul dalam berbagai diskusi menuju Indonesia Emas 2045, salah satunya berkat bonus demografi. Periode bonus demografi menjadi penting, berdasarkan asumsi negara yang berada dalam bonus demografi memiliki penduduk usia produktif melimpah, dan acapkali dianggap momentum meraih pertumbuhan ekonomi tinggi.

Bonus demografi menjadi modal penting Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. Terdapat tekad kuat dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju saat mencapai satu abad, populer dengan tagline ”Visi Indonesia Emas 2045”. Berdasarkan pengalaman negara lain, tak banyak negara berkembang berhasil menjadi negara maju ketika mereka telah menikmati kemerdekaan lebih dari satu abad.

 

menuju-generasi-berkualitas-2045-prof-djoko-santoso-kompas-rumahginjal-1.jpg

 

Beberapa negara di Amerika Latin masih berada dalam kategori pendapatan menengah. Hanya Brasil dan Meksiko yang capaian ekonominya sedikit lebih baik dibandingkan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Di kawasan Asia, kita bisa melihat Korea Selatan, yang usia kemerdekaannya hanya dua hari lebih tua dari Indonesia. Sebagai sesama mantan negeri jajahan Jepang, Korsel telah berkembang pesat, jauh meninggalkan kita. Bahkan, Korsel sekarang mengejar kemajuan Jepang.

Beberapa produk dari Korsel, baik itu otomotif, produk elektronik, termasuk produk kebudayaan (K-pop), kiranya bisa menginspirasi generasi baru di Tanah Air untuk menjadi generasi berkualitas penuh optimistik saat tahun emas kelak.

Jalan yang kita tempuh menuju 2045 mungkin tidak selalu mulus. Namun, dalam menghadapi tantangan ini, kita bisa ingat kembali pepatah lama: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

 

Bangkit dari situasi pandemi

Kita baru saja lepas dari pandemi Covid-19 yang selama tiga tahun memorak-porandakan segala sendi kehidupan dan memakan korban puluhan juta orang meninggal. Di Indonesia, ada sekitar 160.000 orang yang meninggal.

Kita jadikan era pascapandemi ini sebagai pijakan untuk melompat lebih maju, bekerja lebih keras untuk kemajuan bangsa. Jangan sampai kehilangan waktu untuk menyiapkan generasi baru menjelang Tahun Emas Indonesia (2045).

Semua profesi memiliki peran strategis dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk menyiapkan langkah mitigasi seandainya nanti ada pandemi lain di kemudian hari.

Dalam masa pandemi, wajar jika dokter dan tenaga kesehatan memiliki peran dan tanggung jawab lebih dibandingkan dengan profesi lainnya. Dalam situasi dan kondisi yang lain, setiap profesi pasti akan memiliki peran dan tanggung jawabnya pula, yang intinya sesuai kompetensinya.

Pandemi Covid-19 yang barusan berlalu telah menjadi medium terbaik untuk mengukur kekuatan dan solidaritas kita sebagai bangsa yang beradab dan memiliki solidaritas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semangat kepahlawanan tenaga kesehatan, termasuk sukarelawan, telah memberi andil membawa bangsa ini melewati hari-hari yang sangat kritis. Sabuk ketahanan kemanusiaan kita bersumber pada kemampuan merawat nilai solidaritas dan gotong royong seperti itu.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada profesi yang lain, kontribusi dokter dan nakes di era pandemi mengingatkan kita pada peran dokter di masa-masa menjelang kemerdekaan dulu. Figur seperti dokter Soetomo, Radjiman, dan Tjipto Mangunkusumo adalah figur penting yang ikut menyemai gagasan kemerdekaan, yang akhirnya tercapai tahun 1945.

Di masa awal kemerdekaan juga muncul sejumlah dokter dari generasi berikutnya, yang terlibat langsung dalam gejolak revolusi bersenjata, seperti figur dokter Moewardi, J Leimena, Soekiman, Soeharso, dan Moestopo.

Etos yang patut diteladani dari para dokter ini adalah bahwa antara aspirasi kemerdekaan dan komitmen kesehatan bagi rakyat, ibarat dua sisi dari koin yang sama, yang selalu berjalan beriringan dan fokus.

Figur seperti dokter Radjiman atau Tjipto, misalnya, siap turun langsung ke masyarakat ketika terjadi wabah pes, cacar, dan kolera awal abad lalu. Dengan terjun langsung ke masyarakat, para dokter bisa menyaksikan sendiri ketimpangan sosial, kemiskinan, dan rendahnya kualitas kesehatan rakyat di bawah rezim kolonial.

Pada era pascapandemi Covid-19, kita berharap bisa jadi fase yang lebih produktif. Salah satu yang kita harapkan adalah kembalinya aktivitas pendidikan dengan tatap muka setelah tiga tahun terkurung dalam metode daring. Jangan sampai kita kehilangan waktu untuk menyiapkan generasi baru menyambut Indonesia 2045.

 

menuju-generasi-berkualitas-2045-prof-djoko-santoso-kompas-rumahginjal-2.jpg

Di era pascapandemi, kita akan meneruskan mengonsumsi makanan bergizi dan sehat, seperti banyak serat, sayur, serta buah. Kita juga tetap menyadari pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit. Kita juga akan meningkatkan kepedulian pada kesehatan ibu dan anak, terutama dalam asupan nutrisi, agar bisa menyiapkan generasi baru yang berkualitas untuk menyambut 2045 nanti.

Khusus bagi generasi now, perlu dipacu terus dalam mengejar kualitas pendidikan yang berwawasan abad ke-21 sehingga mampu bersaing dengan golongan terpelajar negara lain.

Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia sangat terkait dengan kesehatan sejak usia 5 tahun ke bawah. Usia anak balita sangat rentan terkena penyakit menular sehingga program vaksinasi menjadi kebijakan mitigasi yang penting. Meskipun begitu, masih ada sebagian masyarakat yang mengabaikan hal ini, bahkan menolak vaksinasi.

Kita juga harus lebih mengupayakan kesehatan ibu dan anak, terutama dalam asupan nutrisinya hingga bisa terhindar dari kondisi tengkes (stunting).

Asupan gizi yang cukup dan seimbang adalah bahan bakar untuk mencetak generasi yang unggul dan berkualitas. Gizi, seperti karbohidrat, protein, dan lemak, serta vitamin mineral, penting untuk memberikan energi dan membangun jaringan tubuh, khususnya otak. Kekurangan gizi tersebut akan menyulitkan untuk menghasilkan generasi yang berkualitas.

 

Ketahanan pangan dan kecukupan nutrisi

Perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan dan kecukupan nutrisi global. Berdasar laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) PBB, akhir tahun lalu, bencana lingkungan sebagai dampak perubahan iklim diperkirakan datang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dengan demikian, perlu antisipasi bagi penyelamatan masa depan generasi baru kita.

Cuaca ekstrem, seperti panas dan dingin di luar batas normal, sebagai dampak buruk perubahan iklim akan memengaruhi kesehatan anak juga.

Kerentanan anak terhadap dampak perubahan iklim lebih besar daripada orang dewasa. Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, dampak perubahan iklim, dalam hal ini cuaca panas, sangat berbahaya dan sangat mengganggu aktivitas anak-anak di luar ruangan (Kompas, 3/5/2023).

 

menuju-generasi-berkualitas-2045-prof-djoko-santoso-kompas-rumahginjal-3.jpg

Bencana iklim dalam bentuk yang lebih konkret adalah pemanasan global. Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius, IPCC meramalkan akan terjadi kepunahan pada 70-90 persen spesies terumbu karang. Kondisi ini akan memukul sekitar 500 juta penduduk yang sumber pangannya bergantung pada keanekaragaman hayati laut, termasuk penduduk Indonesia.

Artinya, generasi yang akan datang dikhawatirkan menghadapi krisis nutrisi, terutama protein yang bersumber dari biota laut. Dibandingkan periode 1850-1900, suhu rata-rata permukaan bumi saat ini lebih tinggi 0,87 derajat celsius. Ini menunjukkan pemanasan global adalah fenomena yang nyata, bisa dirasakan, dapat diukur, dan oleh karena itu bisa diprediksi dan dicegah.

Melihat prediksi terkait ancaman terhadap ketahanan pangan dan kecukupan gizi, sekarang saat yang tepat untuk lebih merawat alam dengan mengurangi eksploitasi berlebihan, menata sektor pertambangan agar lebih ramah lingkungan, dan mengelola pertanian perkebunan dengan lebih produktif tanpa merusak ekosistem.

Menjaga keanekaragaman hayati dan pangan lokal adalah salah satu cara menjaga ketahanan pangan kita sehingga generasi mendatang terjamin kecukupan serta kualitas asupan nutrisi dan gizinya. Literasi tentang kecukupan dan kualitas gizi ini perlu digenjot serius.

Merujuk hasil survei, masyarakat kini sudah terbiasa dan sangat gemar mengonsumsi makanan cepat saji (fast food) minim gizi, seperti gorengan, mi instan, burger, dan makanan beku (Kompas, 24/4/2022). Bisa dibayangkan akibatnya.

Masyarakat kita memang masih rendah kesadarannya tentang bahaya makanan rendah gizi ini dalam jangka panjang. Perlu ada langkah afirmasi pemerintah untuk mendorong masyarakat agar lebih banyak mengonsumsi sayuran dan buah, makanan berserat, bervitamin, serta mengandung mineral esensial, seperti kalsium, zat besi, iodin, dan kalium. Rendahnya konsumsi buah dan sayuran ini secara nasional bisa mengancam pencapaian target generasi berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah mega-biodiversitas terkait keanekaragaman sumber makanan, baik di daratan maupun perairannya. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia memiliki setidaknya 100 jenis karbohidrat, 100 kacang-kacangan, 450 buah, serta 250 aneka sayuran dan jamur. Di luar daftar ini, masih ada aneka pangan liar yang belum teridentifikasi.

Salah satu keanekaragaman hayati ini adalah sagu, yang sejak berabad-abad menjadi sumber makanan masyarakat lokal yang mendukung kecukupan nutrisi. Olahan tepung sagu secara tradisional banyak dijumpai dari Aceh hingga Papua.

menuju-generasi-berkualitas-2045-prof-djoko-santoso-kompas-rumahginjal-4.jpg

Secara nasional, berkah keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya pangan lokal kian tergusur politik pangan yang dibuat seragam. Salah satu yang menonjol, penyeragaman beragam karbohidrat lokal menjadi beras, selain terigu dari gandum impor. Menurut FAO, Indonesia pengimpor gandum terbesar dunia dan masih dalam transisi menuju swasembada beras.

Dengan ancaman perubahan iklim, juga problem geopolitik ketika pasokan gandum dari Ukraina menjadi tersendat, situasi mutakhir ini bisa kita jadikan momentum untuk menguatkan kembali sumber pangan lokal. Jika kita bisa menjaga kecukupan pangan, dengan nutrisi dan gizi yang lengkap, generasi mendatang akan lebih sehat dan kuat.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 

 



Comments