Tarik Ulur Cukai Minuman Berpemanis

Ditundanya pengenaan tarif cukai MBDK tentu mengecewakan kalangan praktisi kesehatan. Padahal rencana pengenaan cukai pada MBDK adalah kebijakan yang progresif, diyakini akan efektif mengendalikan konsumsi minuman manis.
Tiba-tiba pemerintah kembali menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK. Kebijakan yang dimaksudkan untuk mengendalikan kenaikan jumlah penderita obesitas dan diabetes ini diundur implementasinya menjadi tahun depan. Itu pun jika tidak diundur lagi.
Sebenarnya, lewat Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan Kementerian Keuangan agar menerapkan cukai produk MBDK mulai tahun ini. Namun, Kemenkeu meminta diundur sampai tahun depan.
Dalam pemberitaan media, Dirjen Bea dan Cukai Askolani saat itu beralasan penerapan kebijakan ini memerlukan berbagai pertimbangan yang matang. Pertama, kebijakan ini akan dimasukkan ke dalam kerangka penyusunan RAPBN 2024, sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kedua, momentumnya belum pas karena perekonomian masih dalam tahap pemulihan. Ketiga, untuk melaksanakan kebijakan ini, pemerintah terlebih dulu harus menyiapkan peraturan pemerintah (PP).
Ancaman di balik manisnya gula
Ditundanya pengenaan tarif cukai MBDK tentu mengecewakan kalangan praktisi kesehatan. Roh dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan tingginya konsumsi gula sehingga dalam jangka panjang bisa mencegah kenaikan jumlah penderita diabetes.
Gula adalah salah satu pemicu obesitas dan penyakit diabetes, yang pada akhirnya bisa merembet ke penyakit lainnya.
Sebenarnya kebijakan ini sudah lama direncanakan. Pada 2016, Kemenkeu berencana menerapkan cukai ini. Skenario awalnya, dengan menerapkan cukai Rp 1.000-Rp 5.000 per liter, ada potensi tambahan pendapatan cukai hingga Rp 3,95 triliun per tahun.
Harian Kompas beberapa bulan lalu, berdasarkan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2021, menurunkan liputan yang membandingkan data konsumsi makanan dan minuman harian dengan total konsumsi kalori harian orang Indonesia.
Dengan mengambil sampel 339.670 responden, survei ini menunjukkan terdapat 47,9 juta orang atau 17,6 persen dari populasi Indonesia (271 juta jiwa) yang mengonsumsi gula berlebih. Ini jumlah yang besar, satu dari enam orang Indonesia pola makannya berisiko untuk terkena obesitas dan diabetes.
Disebut berlebih jika konsumsi gulanya melampaui 10 persen dari total konsumsi kalori harian. Standar konsumsi ideal gula harian sebesar 10 persen dari total kalori harian, sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Orang Indonesia tergolong senang mengonsumsi gula, termasuk nasi sebagai makanan pokok yang mengandung banyak gula.
Data lain menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir, tingkat konsumsi MBDK di Indonesia meningkat signifikan, hingga 15 kali lipat dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014. Sekitar 10 persen dari kelompok usia anak bahkan mengonsumsi minuman berpemanis ini 1-6 kali seminggu.
Indonesia berada di peringkat ketiga dalam daftar negara-negara di Asia Tenggara dengan tingkat konsumsi MBDK tertinggi pada 2020.
Selain senang mengonsumsi gula berlebih, kita juga malas bergerak. Susenas 2021 menunjukkan, orang Indonesia yang aktif berolahraga hanya 27,14 persen dari total penduduk berusia lima tahun ke atas. Rendahnya aktivitas fisik orang Indonesia ini juga terekam pada hasil riset peneliti Universitas Stanford pada 2017, dengan responden sebanyak 717.527 orang di 111 negara.
Dikutip dari laporan investigasi Kompas, riset ini dipublikasikan di jurnal Nature. Riset ini menunjukkan orang Indonesia berada di posisi keempat paling bawah yang aktivitas fisiknya paling rendah. Hanya di atas orang El Salvador, Honduras, dan Pakistan yang jumlah aktivitasnya lebih sedikit dari orang Indonesia.
Orang Indonesia memiliki rata-rata 3.513 langkah harian atau hanya sekitar separuh (51 persen) dari rata-rata aktivitas fisik tertinggi, yakni orang Hong Kong dengan 6.880 langkah. Di Asia Tenggara pun, orang Indonesia menjadi yang paling malas, di bawah Vietnam (3.643), Brunei (3.823), Myanmar (3.878), Malaysia (3.963), Filipina (4.008), Thailand (4.764), dan Singapura (5.674).
Sudah malas bergerak, mengonsumsi nasi dalam jumlah banyak, dan senang minuman manis berlebih.
Menurut Publikasi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah individu yang mengalami kelebihan berat badan meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, yakni dari 10,3 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018.
Kondisi obesitas ini meningkatkan risiko terhadap penyakit tidak menular (PTM) yang bersifat kronis, termasuk tiga penyakit yang menjadi penyebab kematian utama di Indonesia, yaitu stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes.
Kehadiran Covid-19 semakin memperburuk situasi ini, terutama bagi penderita ketiga penyakit tersebut. Secara khusus, diabetes menjadi penyebab utama dalam 85 persen kasus kematian akibat Covid-19, mengakibatkan risiko kematian meningkat hingga 8,3 kali lipat.
Akumulasi beban berat akibat diabetes ini pada akhirnya meningkatkan biaya pelayanan kesehatan secara signifikan.
Dalam Laporan Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya pelayanan untuk diabetes meningkat 8 persen setiap tahun dalam periode tiga tahun terakhir, dari Rp 84 triliun pada 2017 menjadi Rp 108 triliun pada 2019.
Sumber utama masalah ini terletak pada faktor-faktor prapenyakit sehingga solusinya juga harus berasal dari aspek ini, yaitu mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.
Dalam konteks ini, rencana pengenaan cukai pada MBDK adalah kebijakan yang progresif, berbasis pencegahan, yang diyakini akan efektif mengendalikan konsumsi minuman manis masyarakat.
Dana dari cukai yang ditarik juga bisa dialokasikan untuk membiayai program kesehatan, seperti membantu pasien penderita diabetes dan kampanye promosi pencegahan.
Kebijakan seperti ini sudah diterapkan pada industri rokok, yang pengenaan cukainya terus-menerus dinaikkan. Dana hasil cukai rokok, lewat mekanisme APBN, antara lain digunakan untuk menambal defisit pembiayaan JKN atau yang kita kenal dengan BPJS, dan juga untuk mendanai kampanye pengendalian tembakau.
Jika MBDK jadi dikenai cukai, diharapkan konsumsi minuman berpemanis bisa dikendalikan, laju kenaikan penderita obesitas dan diabetes bisa turun, dan ada dana tambahan untuk JKN-BPJS.
Pajak manis di beberapa negara
Sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan untuk mengatasi risiko kesehatan yang disebabkan oleh tingginya konsumsi MBDK. Ada yang menerapkan cukai sebagai instrumen disinsentif, ada juga yang memberikan insentif berupa pengurangan pajak atau cukai, jika industri minuman bersedia mengurangi kandungan gula dalam produk MBDK.
Pengenaan disinsentif dan insentif ini direkomendasikan WHO sebagai instrumen intervensi yang efektif guna mengendalikan konsumsi MBDK.
Per Januari 2022, ada 48 negara yang menerapkan pengendalian MBDK. Pemerintah Inggris menerapkan soft drinks industry levy (SDIL), yang fokus mengatur insentif pengurangan pajak bagi produsen. SDIL membagi tiga kategori besaran pajak berdasarkan besarnya kandungan gula dalam MBDK.
Kebijakan SDIL ini sengaja diumumkan pada 2016, dua tahun sebelum diterapkan pada 2018, sehingga memberikan kesempatan kepada produsen untuk melakukan penyesuaian.
Perancis juga menerapkan kebijakan serupa pada 2018, menggantikan aturan pajak dan cukai yang sudah berlaku sejak 2012. Aturan yang baru ini menerapkan pajak sebesar 0,03 franc (sekitar Rp 490) per liter untuk MBDK yang mengandung gula tambahan di bawah 1 gram per 100 ml, dan secara bertahap pajaknya ditingkatkan hingga 0,24 franc (sekitar Rp 3.900) per liter untuk minuman yang mengandung gula tambahan 15 gram per 100 ml.
Seberapa efektifkah pengenaan pajak atau cukai MBDK bisa menurunkan konsumsi minuman berpemanis? Sebuah studi yang diterbitkan pada 2022 menunjukkan bahwa cara ini cukup efektif untuk mengurangi pembelian MBDK.
Pengenaan pajak atau cukai meningkatkan harga jual, kemudian akan menurunkan volume penjualan. Bagi produsen, penurunan volume penjualan belum tentu akan menurunkan pendapatan karena akan tergantung pada seberapa besar pengaruh insentif dan disinsentif pajak dan cukai tadi pada harga pokok produksi, yang akan sangat bervariasi tergantung pada kondisi setiap produsen.
Tampaknya aturan ini terlihat cukup efektif untuk menurunkan tingkat konsumsi MBDK meskipun belum tentu cukup efektif mendorong industri untuk mengurangi besarnya kandungan gula dalam produk minumannya.
Sejauh ini baru di Inggris, Portugal, dan Afrika Selatan yang sudah menunjukkan adanya penurunan kandungan gula pada produk MBDK.
Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah pajak/cukai MBDK dapat memberikan insentif kepada produsen untuk mengurangi kadar gula MBDK produknya. Ada dugaan sementara bahwa formulasi insentif ini bisa memengaruhi pola makan dan kesehatan (misalnya bisa menurunkan konsumsi gula berlebihan), tetapi belum terlalu kuat untuk mengubah perilaku konsumen.
Penurunan konsumsi MBDK secara agregat akan menaikkan kualitas kesehatan masyarakat. Hongaria, melalui kebijakan public health product tax (PHPT), berhasil menurunkan konsumsi MBDK sebesar 26-32 persen, Meksiko turun hingga 17 persen, terutama pada segmen konsumen ekonomi rendah. Di Inggris, kebijakan ini berbuah pada penurunan kadar gula masyarakat sebesar 11 persen dalam periode 2016-2017.
Demikian juga Australia bisa menurunkan angka rata-rata konsumsi gula warganya menjadi 124 gram/hari pada laki-laki dan 67 gram/hari pada perempuan (Kompas, 19/5/2023).
Maka, yang perlu dipertimbangkan adalah besaran tarif cukai untuk MBDK. Semakin tinggi kandungan pemanisnya, besaran cukainya juga akan semakin besar. Pada 2016, saat Kemenkeu pertama kali mengusulkan rencana penerapan cukai pada MBDK, besarannya telah dirancang dalam kisaran Rp 1.000-Rp 5.000 per liter.
Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga
Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur