Penghargaan Nobel dan Tren Riset Favorit


Jika riset genomik dan AI menjadi tema riset favorit di negara maju, apakah ilmuwan kita juga mengikutinya?

Pada Oktober lalu, Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia memberikan Hadiah Nobel 2024 untuk kategori Kedokteran-Fisiologi, Kimia, Fisika, Sastra, dan Perdamaian.

Melihat pemenang Nobel kategori Kedokteran, Fisika, dan Kimia, tampak ada kemajuan pesat pada riset genomik dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan ini menjadi pendorong kemajuan teknologi di bidang medis dan kesehatan.

Apa yang bisa kita pelajari dari penerima Nobel ini?

 

Terobosan baru

Nobel Kedokteran-Fisiologi diberikan kepada Victor Ambros dan Gary Ruvkun dari Amerika Serikat. Keduanya dinilai berjasa atas temuannya bahwa mikro-RNA berperan dalam mengatur aktivitas gen pascatranskripsi. Lewat temuan ini terbuka peluang pengembangan cara baru pengobatan berbagai penyakit, termasuk kanker dan autoimun.

Juri dari penghargaan ini menilai, penemuan terobosan ini mengungkapkan prinsip yang sama sekali baru tentang regulasi gen, yang ternyata sangat penting bagi organisme multisel seperti manusia.

Riset genomik berfokus pada suatu struktur, yaitu gen. Gen adalah cetak biru informasi genetik pada semua makhluk hidup, termasuk manusia, yang tersusun dalam bentuk pita molekul DNA (asam deoksiribonukleat) yang diperlukan untuk pembentukan struktur tubuh.

Riset genomik sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu dan kini membawa terobosan teknologi perbaikan gen, teknologi RNA (asam ribonukleat), dan terapi sel punca (stem cell) yang membuka harapan baru pada penanganan beberapa penyakit manusia yang sebelumnya seperti tak ada jalan keluarnya.

Riset genomik mengalami lompatan spektakuler sejak ditemukannya metode editing gen, clustered regularly interspaced short palindromic repeats-associated protein 9 (CRISPR-Cas9), yang bisa mengoreksi kesalahan genetis atau mengedit untaian DNA dengan presisi.

Dengan metode ini, penyakit tertentu, seperti kanker dan autoimun, bisa ditangani sejak dini dengan pencegahan, bukan pengobatan setelah jatuh sakit.

Nobel Fisika diberikan kepada John Hopfield (AS) dan Geoffrey Hinton (Kanada) yang dinilai berjasa menggunakan konsep fisika untuk mengembangkan metode yang jadi landasan teknologi pembelajaran mesin (learning machine) dan AI.

Nobel Kimia diberikan kepada David Baker, John Jumper, dan Demis Hassabis atas keberhasilan menyusun struktur tiga dimensi protein yang kompleks. Baker (profesor University of Washington, AS) dinilai berjasa untuk ”desain protein komputasional”. Jumper dan Hassabis (bekerja di Google DeepMind, perusahaan AI dari Inggris) berjasa untuk ”prediksi struktur protein”.

Menurut Komite Nobel, Baker berhasil mengungkap jenis protein yang sama sekali baru. Jumper dan Hassabis berhasil mengembangkan permodelan AI untuk memecahkan masalah di bidang kimia yang sudah 50 tahun belum teratasi, yaitu prediksi struktur protein dari urutan asam aminonya.

Pemenang Nobel Fisika, Hopfield dan Hinton, berada dalam satu jalur yang sama, yaitu riset pengembangan AI.

Keduanya bisa disebut sebagai peletak dasar AI. Hopfield sangat menguasai fisika dasar, kimia, dan biologi molekuler. Sementara Hinton ahli ilmu komputer yang mulai meneliti jaringan saraf, awal 1970-an di Universitas Edinburgh.

Jaringan yang dikembangkan Hinton mirip dengan yang dibangun Hopfield, tetapi dengan penjelasan yang berbeda. Hopfield menggunakan prinsip fisika, sementara Hinton dengan prinsip mekanika statistik, cabang ilmu yang turut mendasari fisika modern.

Riset model jaringan saraf yang dibangun oleh dua orang ini kemudian dikembangkan oleh banyak perusahaan teknologi digital. Kontribusi penting keduanya adalah menggunakan konsep fisika untuk riset pengembangan pembelajaran mesin, yang menjadi dasar kerja teknologi AI saat ini.

Seluruh industri teknologi AI dewasa ini bisa berkembang berkat riset dan temuan Hopefield dan Hinton. Kemajuan teknologi tak bisa lepas dari penguasaan ilmu dasar seperti fisika dan matematika. Demikian juga kemajuan teknologi AI, ternyata dibangun dari prinsip fisika seperti ditunjukkan dalam riset Hopfield dan Hinton yang memenangi Nobel.

Karena itu, jika kita ingin memacu perkembangan teknologi, riset ilmu dasar perlu semakin diperkuat lagi.

penghargaan-nobel-dan-tren-riset-favorit-prof-djoko-santoso.jpg

 

Riset genomik dan AI

Dari penghargaan Nobel 2024 ini, kita bisa melihat, riset genomik dan AI adalah dua tema riset favorit di masa depan. Riset genomik, termasuk riset sel induk/punca, kini gencar dilakukan di mana-mana.

Sel induk ini bisa berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda di dalam tubuh dan sangat potensial mengganti sel-sel tubuh yang rusak, entah karena terserang penyakit atau karena usia (degeneratif).

Dalam beberapa tahun terakhir, pengobatan sel induk dianggap menjadi terobosan dalam pengobatan regeneratif. Terapi inovatif ini menggunakan sel induk yang merupakan bahan dasar (mentah) tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak, mengobati berbagai penyakit, dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.

Saat ini negara yang maju dalam riset sel induk antara lain AS, Jerman, Inggris, China, Jepang, India, Korea Selatan, Singapura, dan Israel.

Pemerintah mereka sangat mendukung riset sel induk, mengalokasikan dana cukup untuk pengembangan infrastruktur riset medis dan bioteknologi, pengembangan SDM profesionalnya, serta mengintegrasikannya dengan kalangan industri medis dan kesehatan.

Demikian juga dengan perkembangan AI. Perusahaan teknologi dan digital banyak yang ikut mengembangkan dan mengambil manfaat dari AI.

 

Riset genomik dan AI di Indonesia

Jika riset genomik dan AI menjadi tema riset favorit di negara maju, apakah ilmuwan kita juga mengikutinya? Tentu saja meski dengan intensitas dan dukungan pemerintah yang belum sebagus di negara maju.

Di sektor riset genomik, sebenarnya kita tidak terlalu tertinggal meski juga belum bisa setara dengan negara-negara maju. Kita memiliki Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang berdiri sejak pemerintahan Hindia Belanda, yang sayangnya sekarang malah ditutup dan dilebur ke BRIN.

Dari lembaga ini sudah banyak karya yang dihasilkan. Misalnya, beberapa tahun lalu diluncurkan riset pemetaan gen manusia Indonesia dengan responden masyarakat berbagai ras dan suku dari Aceh sampai Papua. Hasil pemetaan ini, diketahui seluruh suku dan subsuku di Indonesia tidak ada yang memiliki DNA tunggal.

Semua suku saling bercampur satu sama lain dengan kadar campuran yang beragam. Oleh ilmuwan sosial, ini lantas disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks genetis.

Pada masa pandemi Covid-19, Lembaga Eijkman ini pun mampu mengembangkan vaksin sendiri, sejajar dengan produsen vaksin negara lain.

Hal ini karena Lembaga Eijkman telah memiliki pengalaman puluhan tahun memproduksi vaksin. Untuk sektor riset genomik, kita telah memiliki landasan yang bagus. Semoga dukungan anggaran, infrastruktur, dan ekosistem risetnya bisa dikembangkan di perguruan tinggi serta lembaga riset lain.

 

penghargaan-nobel-dan-tren-riset-favorit-prof-djoko-santoso-2.jpg

 

Untuk sel punca, belum banyak ilmuwan kita yang mendalami riset sektor yang menjanjikan ini. Perlu dukungan dan dorongan kebijakan, regulasi, dan alokasi anggaran dari pemerintah agar riset sel punca bisa berkembang lebih cepat.

Soal regulasi menjadi penting karena yang sekarang banyak bermunculan praktik yang mengklaim sebagai ”terapi stem cell” oleh klinik atau dokter secara pribadi, tetapi belum sesuai dengan standar medis.

Ada dokter yang menerapkan praktik terapi ini ke sejumlah pasien secara terbatas, bukan dengan tujuan komersial, dan menjelaskan bahwa praktik terapinya ini adalah bagian dari proses risetnya. Namun, ada juga yang sudah praktik secara komersial, bertarif mahal, dan laris manis karena dipublikasikan oleh influencer, padahal belum sesuai standar medis.

Praktik komersial dengan klaim ”terapi stem cell” tetapi masih jauh dari standar medis ini tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara maju. Dalam sebuah artikel berjudul ”Putting Stemcell-Based Therapies in Context”, Karen M Wai dkk menyoroti menjamurnya klinik stem cell ”abal-abal” di AS (stemcell.nih.gov, 16/11/2022).

Mengutip artikel ini, sebuah studi tahun 2021 memperkirakan ada lebih dari 2.500 klinik di AS yang menjual perawatan sel punca yang belum terbukti secara medis. Para pasien diarahkan untuk percaya bahwa perawatan ini sudah terdaftar, disetujui oleh FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS), atau diyakinkan bahwa tidak perlu persetujuan FDA.

Akibatnya, banyak kejadian malapraktik yang merugikan pasien. Artikel ini mencontohkan, sebuah klinik di Stanford merawat seorang pasien yang rusak penglihatannya setelah menerima suntikan sel punca di belakang matanya. Ada juga sebuah klinik di Florida yang membuat seorang pasiennya menjadi buta setelah memberikan sel punca di matanya.

Perawatan sel punca yang belum sesuai standar medis dan belum diatur ini membawa risiko dan efek samping yang bisa membahayakan. Misalnya, sel yang disuntikkan malah dapat berkembang biak menjadi jenis sel yang tidak sesuai atau bahkan menjadi tumor berbahaya.

Masih menurut artikel tersebut, Pew Charitable Trusts mengumpulkan 360 laporan efek samping yang diakibatkan oleh terapi sel punca yang tidak atau belum disetujui oleh FDA, termasuk 20 kasus yang menyebabkan kematian. Ini adalah kasus yang dilaporkan dan diyakini ada banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan.

Padahal, terapi berbasis sel punca yang belum sesuai standar medis ini biasanya mahal biayanya, sementara risikonya bisa membahayakan. Untungnya, pada 2017, FDA merilis panduan di bawah Undang-Undang Penyembuhan Abad Ke-21 yang mengklarifikasi terapi berbasis sel punca mana saja yang masuk dalam peraturan FDA.

Sejak Mei 2021, FDA telah menegakkan penindakan pada klinik sel punca yang terus memasarkan perawatan yang belum sesuai standar medis.

Di sektor AI, kita memang belum selevel negara-negara maju. Di ranah teknologi digital yang menjadi payung AI, kita masih sebatas konsumen.

Berkaca pada salah satu tokoh dunia asli Belanda yang pernah bekerja dan meneliti di Indonesia, Christiaan Eijkman, yang merupakan peraih Nobel tahun 1929 berkat penemuannya atas penyakit beri-beri, kita harus percaya dan yakin ke depannya akan ada peraih Nobel yang lahir dari Indonesia.

Penghargaan Nobel terus berlangsung setiap tahun, pemenangnya bergantian dari banyak negara, tetapi ilmuwan Indonesia baru sebatas menjadi penonton. Semoga ini bisa memacu ilmuwan kita untuk serius mendalami riset di sektor hulu dan sektor yang menjadi tren riset mendatang.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Kepala Badan Kesehatan MUI Provinsi Jawa Timur

 

penghargaan-nobel-dan-tren-riset-favorit-prof-djoko-santoso-kompas.jpeg



Comments