Transisi ke Endemi yang Tertunda


Pemerintah memperkirakan puncak kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Indonesia mungkin akan terjadi pada minggu kedua atau ketiga Juli 2022. Saatnya mengetatkan protokol kesehatan mencegah penyebaran varian baru.

 

Sekitar satu bulan lalu pemerintah menyatakan bahwa kita sedang memasuki masa transisi dari akhir pandemi menuju ke endemi.

Ini pernyataan menggembirakan, apalagi didukung oleh fakta bahwa satu bulan setelah pemerintah mengizinkan liburan panjang mudik Lebaran, tak muncul gejolak yang mengkhawatirkan.

Namun sayang, di tengah optimisme ini, tiba-tiba kasus harian secara perlahan naik. Sebenarnya sejak Mei penambahan kasus harian rata-rata di bawah 500 kasus, bahkan pada 16 Mei penambahan kasus harian hanya 182 kasus. Ini yang membuat banyak pihak optimistis pandemi segera berganti menjadi endemi.

Situasi kemudian berubah, secara perlahan penambahan kasus harian terus naik. Pada 12 Juni ada penambahan 551 kasus baru, pada 15 Juni 1.241 kasus, dan 23 Juni melonjak jadi 2.069. Ini berarti sudah menembus 2.000 dari yang sebelumnya 1.907 kasus baru. Maka bisa dimengerti jika banyak yang mulai khawatir dan waspada dengan tren kenaikan ini.

Tren kenaikan kasus harian ini seiring dengan berita datangnya tamu tak diundang, yaitu varian baru BA.4 dan BA.5 yang dilaporkan pertama kali masuk Indonesia pada 6 Juni. Seorang WNI terdeteksi positif BA.4 dan tidak bergejala, serta dilaporkan sudah menerima vaksin dosis kedua. Sementara yang terdeteksi positif B.5 ada tiga orang, ada yang tidak bergejala dan ada yang bergejala ringan, dan semuanya sudah menerima vaksinasi dosis ketiga, bahkan ada yang keempat.

Mereka ini pelaku perjalanan luar negeri, peserta pertemuan The Global Platform for Disaster Risk Reduction di Bali 23-28 Mei 2022. Memang, masuknya varian BA.4 dan BA.5 masih bisa dihitung dengan jari, tetapi di tingkat global dua varian ini sudah banyak menyebar.

Mengutip laporan Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menjelaskan, transmisi BA.4 ataupun BA.5 lebih cepat dibandingkan subvarian Omicron BA.1 dan BA.2. Namun, tingkat keparahannya rendah, belum ada indikasi menyebabkan kesakitan lebih parah dibandingkan varian Omicron lainnya.

Apakah kenaikan kasus positif di tingkat global tersebut disebabkan oleh subvarian BA.4 dan BA.5?

Di Afrika Selatan, Portugal, dan Chile, kenaikan kasus Covid-19 dikaitkan dengan kenaikan kasus akibat subvarian BA.4 dan BA.5. Demikian juga kenaikan kasus di Indonesia, oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin dipastikan terkait dengan masuknya dua subvarian itu. Menkes menjelaskan, subvarian baru ini diduga memiliki kemampuan immune escape, artinya mampu lolos menghindar dari cegatan sistem kekebalan yang dimiliki seseorang, baik yang diperoleh dari vaksinasi maupun dari kekebalan alamiah.

 

Mutasi virus

Diketahui subvarian ini menyebar lebih cepat, tetapi belum diketahui seberapa luas penyebarannya. Di Afrika, Omicron varian BA.4 dan BA.5 meningkat secara drastis sejak Maret, yaitu 16 persen prevalensi kasus baru. Di Afrika Selatan, varian ini mendominasi kasus selama April (73 persen) dan Mei (94 persen). Sementara kasus Delta di Afrika masih terdeteksi dalam frekuensi yang rendah.

Merebaknya kasus subvarian BA.4 dan BA.5 bukan dikategorikan sebagai varian of concern (VOC) yang baru karena dua subvarian ini sebenarnya masih dalam keluarga keturunan varian Omicron. Varian BA.4 dan BA.5 memiliki banyak kesamaan mutasi dengan varian induknya, Omicron yang asli, tetapi lebih mirip lagi dengan subvarian BA.2.

Struktur spike (bentuknya berupa tonjolan-tonjolan sulur yang menancap pada bulatan badan virus) yang dimiliki menyerupai strain BA.2, tetapi ada perbedaannya, yaitu mengalami delesi (kehilangan) pada asam amino ke 69-70, atau terhapusnya satu asam amino.

Akibatnya, beberapa alat tes PCR seperti Thermo Fisher Scientific TaqPath yang biasa digunakan untuk mendeteksi varian Omicron BA.1 terkadang gagal untuk mendeteksi subvarian BA.4 dan BA.5 (Everatt, 2022).

Yang juga menarik perhatian kalangan ahli adalah mutasi L452R, F486V, Q493 pada BA.4 dan BA.5. Mutasi dari subvarian BA.4 dan BA.5 itulah yang mengubah beberapa karakteristik virus ini. Kedua subvarian baru ini memiliki mutasi yang sama persis pada bagian protein spike, tetapi di beberapa daerah penyebaran lainnya ditemukan juga bentuk mutasi yang lain, di luar mutasi protein spike. Sebagaimana varian sebelumnya, protein spike yang berbentuk tonjolan sulur inilah yang menginfeksi ke sel manusia dengan cara menempel.

Karena struktur proteinnya sama, kedua subvarian BA.4 dan BA.5 ini bisa disebut identik.

Menurut Tchesnokova et al, mutasi L452R adalah terjadinya perubahan asam amino Leusin menjadi Arginin, pada titik ke-452 dari protein deretan spike. Protein spike virus ini terdiri dari 1.273 asam amino penyusunnya, dan di titik ke-319 sampai titik ke-541 merupakan daerah peng-kode asam amino untuk receptor binding domain (RBD), yaitu tempat virus mengikat reseptor di tubuh manusia (ACE-2 receptor). Mutasi yang terjadi pada asam amino titik ke-452 yang berada di area peng-kode protein RBD ini menyebabkan perubahan sifat yang signifikan.

Seperti kita ketahui, virus Covid-19 bukanlah makhluk hidup, tetapi merupakan sekumpulan protein yang baru dapat berkembang biak dan merusak sel target ketika berada di dalam tubuh inangnya. Perubahan pada asam amino penyusun protein ini memungkinkan perubahan sifat karakteristik virus ini.

Pada mutasi L452R, virus itu memiliki kemampuan untuk lolos dari hadangan antibodi yang terbentuk oleh vaksinasi atupun karena kekebalan alamiah akibat pernah terpapar sebelumnya. Mutasi L452R juga membuat virus ini lebih mudah melekat pada sel manusia yang diinfeksi sehingga meningkatkan kemampuannya untuk menyebar, menginfeksi, dan akhirnya merusak sel yang diinfeksi.

Mutasi L452R ini ditemukan pertama kali pada varian Epsilon B.1.427/B.1.429 yang ditemukan di California, sekitar November hingga Desember 2020. Namun, mutasi ini menjadi terkenal setelah dikaitkan dengan mutasi pada varian Delta.

Mutasi ini ternyata tidak terjadi pada varian pendahulunya, yaitu Omicron BA.2, sehingga dapat dikatakan mutasi L453R ini menghasilkan perubahan karakter yang lebih hebat pada subvarian BA.4 dan BA.5. Sampai saat ini mutasi L452R juga telah ditemukan pada varian lain, seperti Delta, Epsilon, dan Kappa.

Dengan memperhatikan lokasi mutasi dominan lainnya, dilaporkan adanya perubahan lain yang terjadi akibat mutasi F486V yang letaknya dekat dengan protein spike, sehingga membantu virus menghindari penghancuran oleh sistem kekebalan manusia. Mutasi ini terjadi pada asam amino di titik Fenilalanin ke-486 yang berubah menjadi asam amino Valin (sehingga disebut F486V).

Uniknya, mutasi ini sangat langka, jarang ditemukan pada pandemi dari berbagai varian sebelum ini. Mutasi di titik ini pernah terjadi pada pandemi varian Cluster 5 yang terjadi pada cerpelai (mink) di Denmark, Desember 2020. Pada saat itu terjadi mutasi F486L (mutasi asam amino Fenilalanin di titik ke-486 menjadi Leusin). Mutasi pada BA.4 dan BA.5 yang menjadi Valin ini memiliki kemampuan lebih signifikan untuk melepaskan diri dari pengikatan oleh antibodi manusia sehingga bisa lolos.

Mutasi lain yang terdapat pada kedua subvarian ini adalah R493Q. Namun, mutasi pada daerah RBD ini justru melemahkan kemampuan si virus untuk menyebar. Hal yang menakutkan dari subvarian ini adalah perubahan delesi (kehilangan) asam amino di titik ke- 69-70 yang memengaruhi pembacaan hasil tes PCR sehingga gen-S-nya tidak terbaca. Oleh karena itu, deteksi subvarian ini membutuhkan teknologi yang lebih andal dan kehati-hatian ekstra.

Seperti dijelaskan di atas, subvarian ini memiliki kemampuan meloloskan diri dari antibodi. Selain itu, seperti yang terjadi pada tiap kemunculan mutasi baru, subvarian ini juga cepat menyebar.

Sejak pertama terdeteksi pada 6 Juni yang menginfeksi empat orang, dengan cepat menyebar menjadi 20 orang dalam beberapa hari. Jumlah ini belum seberapa jika dibandingkan penyebaran di negara lain. Setidaknya sampai 10 Juni, GISAID melaporkan bahwa subvarian BA.4 terdeteksi 6.903 sekuens di 58 negara, terbanyak antara lain di Afrika Selatan, Amerika Serikat, Britania Raya, Denmark, dan Israel. Adapun subvarian BA.5 terdeteksi sebanyak 8.687 sekuens di 63 negara, terbanyak antara lain di Amerika Serikat, Portugal, Jerman, Inggris, dan Afrika Selatan.

The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) awalnya memasukkan BA.4 dan BA.5 ke dalam variant of interest (VOI) atau varian dalam pemantauan. Namun, karena cepatnya penyebaran, pada 12 Mei 2002 EDC meningkatkan klasifikasinya menjadi variant of concern (VOC).

Seberapa jauh potensi dampak subvarian ini di Indonesia, menurut mantan Direktur Penyakit Menular WHO untuk Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama, akan tergantung pada beberapa hal, seperti proteksi imunitas, cakupan, dan kapan waktu vaksinasi sebelumnya, serta lanskap dari gelombang yang lalu.

Secara umum memang belum ada bukti bahwa subvarian baru ini mengakibatkan dampak lebih parah, tetapi harus diwaspadai peningkatan hospitalisasi dan ICU pada mereka yang berusia di atas 60 atau 65 tahun. Selain itu, saat ini para ahli juga masih mengumpulkan data terkait efektivitas obat monoclonal antibodies (mAb) pada BA.4 dan BA.5.

Varian BA.4 dan BA.5 pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada Januari dan Februari 2022 dan sampai saat ini telah menyebar di 58 negara untuk BA.4 dan 63 negara untuk subvarian BA.5. Subvarian BA.4 paling banyak ditemukan di Afrika Selatan, AS, Inggris, Denmark, dan Israel. Sementara subvarian BA.5 banyak ditemukan di AS, Portugal, Jerman, Inggris, dan Afrika Selatan.

Di Singapura, subvarian ini menyebabkan peningkatan 23 persen kasus mingguan. Walaupun masih didominasi oleh subvarian BA.2, penyebaran subvarian baru ini telah bertambah secara pesat.

Seperti yang dilampirkan di laman resmi Kementerian Kesehatan Singapura, 21 Juni lalu Singapura mencatatkan 7.109 kasus baru, yaitu dua kali lipat dibandingkan satu hari sebelumnya yang 3.220 kasus. Sampai saat ini 92 persen total warga Singapura telah menerima dosis lengkap vaksin Covid-19, dan 77 persen telah menerima dosis penguat.

Menurut estimasi CDC, varian BA.4 dan BA.5 yang awalnya hanya menyumbang sekitar 1 persen dari total kasus di dunia, sampai pertengahan Juni sudah berkembang menjadi 22 persen dari total kasus. Hal tersebut disebabkan variant of interest atau varian yang diperhatikan ini lebih cepat menyebar dan bisa menembus pertahanan kekebalan yang diperoleh karena terinfeksi maupun kekebalan dari vaksinasi. Artinya, seseorang bisa terinfeksi ulang walaupun pernah terinfeksi oleh varian Omicron sebelumnya.

 

Puncak di Indonesia

Kementerian Kesehatan RI memperkirakan, puncak kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Indonesia mungkin akan terjadi pada minggu kedua atau ketiga Juli 2022. Dasarnya, gelombang dari varian mutasi baru biasanya akan mencapai puncaknya sekitar satu bulan sejak kasus pertama ditemukan. Dengan membandingkan data dari luar negeri, kita harus lebih meningkatkan kewaspadaan.

Perhatian lebih terutama ditujukan pada kelompok yang rentan dan berisiko, juga kelompok yang mengalami penurunan antibodi. Misalnya, kelompok lanjut usia yang belum mendapatkan suntikan vaksin penguat atau orang yang karena mengidap penyakit tertentu sehingga belum mendapatkan vaksinasi. Atau tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan vaksin penguat, tetapi sudah lebih dari enam bulan lalu sehingga bisa saja terjadi penurunan antibodi.

Selain itu, pemerintah perlu mengetatkan lagi protokol kesehatan, yang sudah sangat longgar sejak diizinkannya liburan panjang mudik Lebaran pada Mei lalu. Saat ini tampaknya sudah sangat terbiasa kita jumpai orang tanpa masker. Saat terjadi peningkatan kasus karena menyebarnya subvarian baru, sudah seharusnya kita juga menyesuaikan diri dengan mengetatkan protokol kesehatan. Dengan jalan itu, kita bisa mencegah terinfeksi dari penyebaran varian baru ini.

 

Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran Unair
Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim

 

 



Comments